Pasta terakhir
“Ayo,
kaaakkk!” rengekku sambil menarik tangan kakak agar segera keluar dari mobil.
Raut
wajah kakak datar tanpa ekspresi.
“Kak, Pleeeaassseee!”.
Kakak
tetap tak bergeming tanpa ekspresi.
“Kak?”
Kakak
masih tak bergeming, diam di balik kemudi. Tidak mengangguk, tapi tidak juga mengiyakan permintaanku untuk
turun dari mobil.
Hari
ini, lagi, aku mencoba untuk mengembalikan senyum kakak meski aku tahu ini takkan mudah. Mungkin ini untuk
yang terakhir kalinya aku mencoba melakukan hal ini, aku hanya ingin membuat
kakak kembali ceria.
“Terakhir
ya!” ucap kakak sambil mengarahkan telunjuknya ke mukaku.
Aku
tersenyum sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan sebagai
tanda aku berjanji.
Akhirnya
kakak turun juga dari mobil.
Aku
masih melihat ketakutan itu, aku masih melihat raut wajah dingin itu meski
kakak berusaha tak terlihat demikian. Hati kakak masih belum bisa melupakan
semua kenangan Bang Icha, kakak masih ada dengan Bang Icha yang telah pergi ke
alam keabadian.
Bayangan
Bang Icha masih belum bisa kakak lepas.
Tapi
mau sampai kapan?
Itu
pertanyaan dalam benak yang tak pernah bisa kusampaikan pada kakak. Bukankah
kakak harus melanjutkan hidup, harus bisa segera melepas bayangan Bang Icha, kakak
harus hidup normal seperti yang lainnya. Tak mungkin kakak kelak berrumah
tangga dengan tokoh fiksinya atau dengan bayangan Bang Icha.
Meski
aku dan seluruh keluarga tahu, tak satu pun dari kami yang pernah merasakan hal
yang kakak rasakan. Hanya kakak yang tahu seperti apa rasanya harus menerima
kenyataan ditinggal seseorang yang dicintainya menjelang detik-detik terakhir.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar