“Hingga sempat juga aku enggan menulis lagi…”
“Kenapa?”
“Selain karena saking takutnya dibilang aneh atau
“gila” karena hal-hal tersebut, karena aku juga jadi tidak bisa mengerjakan hal
lainnya… “
“Maksud kamu?”
“Karena kalau aku mulai mengerjakannya yang
lainnya, aku jadi kesulitan sendiri untuk melanjutkan cerita…”
Bram hanya tertawa.
“Aku sempat kesal juga, tidak bisa mengerjakan
yang lain begitu aku mulai menulis cerita… Tapi aku ingin tetap lanjut
menuliskan cerita… Lalu aku paksakan mengerjakan yang lain, eeehhh hilang juga
semua fokus, konsentrasi dan… dan sesuatu yang tidak aku mengerti yang sudah
terbentuk untuk cerita yang sedang aku tulis…”
“Terus?”
“Tapi semakin bertambahnya usia dan pengalaman
hidup, aku semakin belajar memahami… Bahwa sekali menulis fiksi, aku memang
jadi akan total berada di dalamnya,
sehingga kesulitan untuk konsentrasi atau fokus mengerjakan yang lain… Jujur
saja, dulu aku juga cukup membatasi diri karena saking takutnya “dunia”-ku itu
terungkap…”
“Tapi sekarang?”
“Sekarang sudah tidak lagi… Aku mulai menyerap banyak
hal… Mempelajari karakter… Dan memilah-milah…”
Bram hanya tersenyum.
“Ditambah lagi, sekarang aku bisa menjadi diri
sendiri… Tidak lagi takut dengan “dunia”-ku itu… “
Bram hanya tetap tersenyum.
“Mentalmu
sudah jauh lebih kuat malah sekarang…!”
“Perlahan-lahan…”
“Hahaaa…”
“Dan real life-ku baru benar-benar dimulai
setelah itu… Aku bisa menjadi diri sendiri, dan aku tahu kalau aku tidak pernah
sendiri… Karena setahuku, banyak juga yang memiliki “dunia” yang sama sepertiku…”
“Kalau bisa terlahir kembali, kamu ingin
dilahirkan sebagai siapa?”
“Aku bersyukur dilahirkan sebagai diriku sendiri
dengan semua skenario-Nya, aku tidak ingin menjadi orang lain kalau dilahirkan
kembali… Biarlah karakter-karakter, tokoh-tokoh imajinasiku dari “dunia”-ku itu,
kini akan mulai benar-benar menjadi tokoh-tokoh dalam naskah-naskah fiksiku…
Aku hanya ingin terus menulis, itu saja…”
Cahyo menepuk pundakku sambil tersenyum.
“Udah ah, lanjutin kerjaan yuk!”
“Akan ada fiksi selanjutnya, kan?”
“Yaaaa kita lihat aja nanti…”
Bram langsung mendelik tajam ke arahku.
“Braaammmm… “ ucapku dengan nada bak di film
horror “Butuh cerita horor lagi, ya???”
“Len!!! Nggak lucu!!!”
“Hahaaa…”.
Tanpa diperintah, kami bertiga langsung kembali
fokus ke pekerjaan masing-masing. Kalau bukan menulis laporan hasil liputan,
memang apalagi?
Morning Compass menjadi salah satu saksi bisu
perjalanan hidup, bukan hanya hidupku tapi juga hidup yang lainnya. Bram, Axel,
Cahyo, Asty dan juga yang lainnya. Saling bertukar pikiran, berbagi cerita, belajar
banyak hal, belajar untuk tahu banyak hal, lebih dan lebih lagi. Belajar tentang
karakter, belajar tentang individu.
Menjadi diri sendiri terkadang tidak mudah untuk dilakukan,
karena banyaknya faktor yang membuat hal itu tidak memungkinkan untuk dijalani.
Tapi seiring perjalanan dan pengalaman hidup, mentalku mulai terlatih untuk
berani menjadi diri sendiri, berani pula mengungkap “dunia” yang selama ini tak
pernah diungkap ke permukaan.
Menjadi titik awal dimulainya kehidupan yang
nyata, tanpa perlu menjadi orang lain lagi, hanya karena takut terlihat
berbeda. Karena ternyata, ada juga yang terlahir sama sepertiku. Aku hanya
ingin terus menulis karena disitulah “dunia”-ku, dan Morning Compass
menjembatani semua itu.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar