“Asik!”
“Ada
cerpen lagi nih!”
“Ceritanya
apa, Len?”
“Bukan
hantu lagi, kan?”
“Hahaaa…”
“Nggak,
bukan…”
“Ntar
ada yang protes lagi, ya?” Asty melirik Bram.
Sementara
Bram terlihat jelas pura-pura tidak mendengar.
“Isinya
tentang apa?”
“Baca
aja…”
“Yeee…”
“Heheee…”
“Pasta
terakhir…”
“Kok
Pasta Terakhir, Len?”
“Habis
bingung mau dikasih judul apa!”
“Hahaaa…
Iya lah judulnya pake nama makanan atau masakan, Si Ellen kan sekarang
ditugaskan untuk ngisi rubrik kuliner… Jadi referensi yang dia baca soal resep,
jenis-jenis bumbu, macam-macam masakan khas tiap Negara, sejarahnya, dan
lain-lain… Pasti dari situ kan inspirasinya?”
“Hehe…”.
Semua
rekan-rekan kerjaku langsung membuka korannya masing-masing, membaca cerpen
kali ini. Bram membaca dengan raut yang sangat serius, tapi memang selalu
serius setiap kali membaca tulisan-tulisanku. Bahkan terlalu serius,
benar-benar serius setiap kali menanggapi tulisanku. Berbeda dengan yang lain,
Asty, Cahyo, Axel dan rekan yang lainnya.
“Eh
Len, emang “can’t stop writing” sama “ingin terus menulis” apa bedanya?”
“Beda
lah… Kalo kategori “can’t stop writing” itu, kata-kata yang mengatur kita…
Tapi, kalo kategori “ingin terus menulis” itu, kita yang mengatur kata-kata… ”
“Iya
iya… Ngerti…”
“Sekarang
gimana? The Words in your head?”
“Much
better, Bram…”
“Good
luck yah, Len… Smangat!!!” Bram tersenyum lalu lanjut membaca.
“Haha…
Mercy, Bram!”.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar