“Sory bentar… Emmm… Yang selalu kamu bilang
dengan “dunia”-mu itu??? Aku masih…”
Aku langsung menoleh pada Bram.
“Ceritain aja…”
Cahyo terlihat semakin mengernyit.
“Just tell him, Len… Bukan cuma kamu ini, kan…”
“Dunia yang selalu aku sebut dalam tanda petik atau
tanda kutip itu adalah dunia imajinasiku, dunia khayal, dunia yang… yang
setahuku, tidak setiap orang bisa mengerti… Tidak setiap orang ya, bukan semua
orang… “
“Hah?”
“Memori pertama yang aku ingat tentang “dunia”-ku
ini, waktu aku kelas tiga sekolah dasar… Mungkin sebelumnya juga sudah ada,
tapi aku tidak terlalu bisa ingat tepatnya… Intinya, memori paling kuat dimulai
saat kelas tiga sekolah dasar…”
“Terus?”
“Aku mulai memiliki imajinasi, memiliki dunia
imajinasi… Berkhayal, membuat karakter-karakter atau tokoh yang… Yang terkadang
aku ajak berdialog… Sampai satu hari, tanpa sadar seorang temanku sekelasku
bilang kalau aku ngomong sendiri…”
“Are you serious???”
“Serius… Dan dari sana, aku mulai merasa takut…
Aku terlalu takut untuk mengungkap “dunia”-ku itu, aku takut nanti malah
dibilang “gila” karena kebiasaan itu…”
“Then?”
“Tapi terus, imajinasi itu aku coba realisasikan
dengan teman-teman bermain… Aku ingin membuat tim seperti dalam film, dengan
strategi, kostum, jurus…”
“Hah?”
“Terus, tim khayalan pertama yang aku buat…
Dengan 3 orang teman perempuan dan 2 orang teman laki-laki kalau tidak salah…
Aku buat tim seolah kita punya musuh perompak… Aku sebagai leader-nya, aku ajak
teman-teman berjalan mengendap-ngendap di samping pagar sekolah, rumah… Lalu
tiba-tiba aku bilang ‘awas, di depan ada musuh!”
“Okeeeee… Terus?””
“Iya… Tapi nggak lama… Terus ganti lagi dengan
tim yang beranggotakan 5 orang perempuan, dengan macam-macam jurus yang kita
ciptakan masing-masing… Sampai kita minta difoto dengan gaya jurus
masing-masing….”
“Whaaattt????”
“Tapi itu juga nggak bertahan terlalu lama,
karena sebagian anggotanya harus melanjutkan ke sekolah menengah…”
Cahyo masih terlihat tidak percaya.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar