Melihat
piring-piring dan mangkuk-mangkuk kosong ketika kembali ke dapur, merupakan
kebahagiaan kecil ternyata bagi orang yang memasak. Meski aku hanya sekedar
membantu, tapi aku merasakan kebahagiaan kecil itu. Ditambah lagi, aku bisa
melihat kebahagiaan lain saat masakan dicicipi dengan penuh senyum.
“Dia kehilangan gadis
kecilnya, bertahun-tahun yang lalu…”
“Gadis kecil?”
“Ya…”
“His daughter?”
“No… Adik perempuannya…”
“Adik perempuan?”
“Kalau masih ada, mungkin dia
sudah seusiamu!”
“Jadi Tirta sebetulnya bukan
anak bungsu?”
Nek Sumi menganggukkan kepala dan mulai bercerita
tentang anak bungsunya yang meninggal tepat di hari ulang tahun Tirta yang
ke-17, Jingga Sumijoyo. Tidak menyeluruh Nek Sumi menceritakan penyebab meninggalnya
Jingga, tapi secara tersirat aku bisa menangkap kalau Jingga meninggal dalam
sebuah kecelakaan.
Diantara ketiga kakaknya, Tirta lah yang paling
dekat dengan Jingga. Selain karena faktor usia, Tirta satu-satunya kakak yang
sempat tinggal satu rumah paling lama di Flat 345. Sedangkan dua kakak tertua
lainnya, sudah tinggal terpisah, hanya sesekali saja menginap di flat ini.
Usia Tirta dan Jingga terpaut sekitar lima tahun,
tapi tidak bisa dikatakan Jingga adalah anak yang di luar program berrencana
dalam keluarga kecil Martha Sumijoyo dan Almarhum Yoshua Sudiro. Jingga telah
menjadi cahaya dan penyemangat baru di keluarga kecil yang menghuni flat 345.
Meski tidak lama Jingga hadir dalam keluarga Nek Sumi, tapi keluarga kecilnya
selalu percaya, Jingga tetap menularkan semangat itu melalui dimensinya berada
kini.
Selintas aku ingin juga menanyakan kenapa nama
belakang Sudiro tidak digunakan di keluarga ini, tapi akan menjadi sangat
lancang jika aku benar-benar menanyakannya. Diberi kepercayaan untuk mendengarkan
cerita Nek Sumi saja, itu sudah merupakan kehormatan bagiku. Karena dengan
begitu, sebagai orang luar, aku tidak dianggap demikian.
“Sugar?”
“No sugar!”
Nek Sumi tersenyum.
“Kopi hitam tanpa gula setelah makan siang!”
Nek Sumi hanya kembali tersenyum “Aku dan Arthur
harus dengan gula, setidaknya satu sendok teh…”
“Biar aku yang bawa!”.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar