Senin, 20 April 2015

Tirta Sumijoyo ( 9 )



Melihat piring-piring dan mangkuk-mangkuk kosong ketika kembali ke dapur, merupakan kebahagiaan kecil ternyata bagi orang yang memasak. Meski aku hanya sekedar membantu, tapi aku merasakan kebahagiaan kecil itu. Ditambah lagi, aku bisa melihat kebahagiaan lain saat masakan dicicipi dengan penuh senyum.
“Dia kehilangan gadis kecilnya, bertahun-tahun yang lalu…”
 “Gadis kecil?”       
“Ya…”
“His daughter?”
“No… Adik perempuannya…”
“Adik perempuan?”
“Kalau masih ada, mungkin dia sudah seusiamu!”
“Jadi Tirta sebetulnya bukan anak bungsu?”
Nek Sumi menganggukkan kepala dan mulai bercerita tentang anak bungsunya yang meninggal tepat di hari ulang tahun Tirta yang ke-17, Jingga Sumijoyo. Tidak menyeluruh Nek Sumi menceritakan penyebab meninggalnya Jingga, tapi secara tersirat aku bisa menangkap kalau Jingga meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Diantara ketiga kakaknya, Tirta lah yang paling dekat dengan Jingga. Selain karena faktor usia, Tirta satu-satunya kakak yang sempat tinggal satu rumah paling lama di Flat 345. Sedangkan dua kakak tertua lainnya, sudah tinggal terpisah, hanya sesekali saja menginap di flat ini.
Usia Tirta dan Jingga terpaut sekitar lima tahun, tapi tidak bisa dikatakan Jingga adalah anak yang di luar program berrencana dalam keluarga kecil Martha Sumijoyo dan Almarhum Yoshua Sudiro. Jingga telah menjadi cahaya dan penyemangat baru di keluarga kecil yang menghuni flat 345. Meski tidak lama Jingga hadir dalam keluarga Nek Sumi, tapi keluarga kecilnya selalu percaya, Jingga tetap menularkan semangat itu melalui dimensinya berada kini.
Selintas aku ingin juga menanyakan kenapa nama belakang Sudiro tidak digunakan di keluarga ini, tapi akan menjadi sangat lancang jika aku benar-benar menanyakannya. Diberi kepercayaan untuk mendengarkan cerita Nek Sumi saja, itu sudah merupakan kehormatan bagiku. Karena dengan begitu, sebagai orang luar, aku tidak dianggap demikian.
“Sugar?”
“No sugar!”
Nek Sumi tersenyum.
“Kopi hitam tanpa gula setelah makan siang!”
Nek Sumi hanya kembali tersenyum “Aku dan Arthur harus dengan gula, setidaknya satu sendok teh…”
“Biar aku yang bawa!”.
                                                                                                  

***

-    dee jp - 



Tidak ada komentar: