Nek
Sumi memberi kode kalau masak harus segera dimulai, bahan-bahan yang tidak
diperlukan disimpan kembali ke tempat semula. Hanya boleh ada bahan yang
diperlukan untuk membuat menu makan siang saja.
Mengingat dapur Nek Sumi tidak terlalu luas.
Aku
harus langsung ikut ‘nyemplung’, meski Nek Sumi mengatakan ‘Just keep your eyes
on me!’. Mendidihkan air, merebus sayuran, mencincang udang, lalu ini dan itu.
Membantu Nek Sumi, menyiapkan semuanya, bukan hanya menonton dan duduk manis.
Selangkah demi selangkah, perlahan-lahan, tahapan demi tahapan. Jangan sekaligus, agar hal-hal kecil pun tidak
terlewatkan.
“Waktu…
Itu saja masalahmu???”
“Well…
Emmm… ”
“What’s
‘emmm…’?”
“I don’t know… Aku belum menemukan kalimat
yang tepat untuk menjelaskannya…“
“Pekerjaanmu?”
“Emmm…”
“Your
‘Me Time’, right? ”
“Hahaaa…
Bagiku memasak itu pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi juga!”
Nek
Sumi memandangku penuh tanya.
“Pekerjaanku
saat ini, menjadi jurnalis, adalah pekerjaan yang… Aku benar-benar harus dan
memang ingin berada disana sepenuhnya, tidak bisa mengerjakannya
setengah-setengah!”
Nek
Sumi tersenyum “Tapi kamu bisa membagi waktumu, tidak harus dikerjakan
sekaligus bersamaan, bukan? Pada hari kerja kamu bisa meliput, menulis laporan,
naskah, investigasi, bertemu narasumber… Daaann, pada hari libur, luangkan
waktumu untuk mulai memasak… Jadi tidak ada istilah ‘konsentrasi terpecah’!”
“Well…
“
“???”
“Keduanya memang hal yang berbeda sebetulnya…”
“Lalu
apa masalahmu?”
“I
don’t know… Actually… Emm…”
“???”
“Haha…
Yaaa… Well… Anyway, kita lihat saja akan bagaimana setelah aku pulang dari ‘dapurmu’
ini!”
Nek
Sumi hanya tersenyum.
“Halloo
Gadis-Gadis!!!”
“Bocah
ini…!!!”
“Ada
gosip apa di dapur Martha Sumijoyo kali ini?”
“Jauhkan
mulut gombalmu itu dari dapurku!”
“Kenapa
wanita yang satu ini selalu terlihat cantik di mataku?” Tirta lalu mengedipkan
sebelah matanya ke arah Nek Sumi.
“Tirtaa…”
“Hahaaaa…”
“It’s
oke, Nek…”
“See,
Mom? Ellen baik-baik saja!”
“Tidak
malu dengan usiamu?”
“Memang
kenapa?”
“Ishhh…
Kamu ini!”
“Berapa
pun usiaku, aku selalu menjadi pria yang paling tampan untukmu, bukan?” Tirta
kembali mengedipkan matanya.
“Don’t
you know, anak bungsuku yang paling tampan? Tidak ada yang lebih membuat
seorang perempuan merasa ‘enek, selain seorang pria yang merasa dirinya tampan…
Apalagi paling tampan!” Nek Sumi lalu memukulnya spatula kayu tepat di atas
kepala Tirta.
“Hahaaa…
Kamu harus belajar banyak darinya, Len!”
“Hmh?”
Tirta
hanya kembali tertawa sambil meninggalkanku dan Nek Sumi.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar