Rabu, 15 April 2015

Tirta Sumijoyo ( 4 )



Nek Sumi memberi kode kalau masak harus segera dimulai, bahan-bahan yang tidak diperlukan disimpan kembali ke tempat semula. Hanya boleh ada bahan yang diperlukan untuk membuat menu makan siang saja.  Mengingat dapur Nek Sumi tidak terlalu luas.
Aku harus langsung ikut ‘nyemplung’, meski Nek Sumi mengatakan ‘Just keep your eyes on me!’. Mendidihkan air, merebus sayuran, mencincang udang, lalu ini dan itu. Membantu Nek Sumi, menyiapkan semuanya, bukan hanya menonton dan duduk manis. Selangkah demi selangkah, perlahan-lahan, tahapan demi tahapan.  Jangan sekaligus, agar hal-hal kecil pun tidak terlewatkan.
“Waktu… Itu saja masalahmu???”
“Well… Emmm… ”
“What’s ‘emmm…’?”                                          
“I don’t know… Aku belum menemukan kalimat yang tepat untuk menjelaskannya…“
“Pekerjaanmu?”
“Emmm…”
“Your ‘Me Time’, right? ”
“Hahaaa… Bagiku memasak itu pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi juga!”
Nek Sumi memandangku penuh tanya.
“Pekerjaanku saat ini, menjadi jurnalis, adalah pekerjaan yang… Aku benar-benar harus dan memang ingin berada disana sepenuhnya, tidak bisa mengerjakannya setengah-setengah!”
Nek Sumi tersenyum “Tapi kamu bisa membagi waktumu, tidak harus dikerjakan sekaligus bersamaan, bukan? Pada hari kerja kamu bisa meliput, menulis laporan, naskah, investigasi, bertemu narasumber… Daaann, pada hari libur, luangkan waktumu untuk mulai memasak… Jadi tidak ada istilah ‘konsentrasi terpecah’!”
“Well… “
“???”
 “Keduanya memang hal yang berbeda sebetulnya…”
“Lalu apa masalahmu?”
“I don’t know… Actually… Emm…”
“???”
“Haha… Yaaa… Well… Anyway, kita lihat saja akan bagaimana setelah aku pulang dari ‘dapurmu’ ini!”
Nek Sumi hanya tersenyum.
“Halloo Gadis-Gadis!!!”
“Bocah ini…!!!”
“Ada gosip apa di dapur Martha Sumijoyo kali ini?”
“Jauhkan mulut gombalmu itu dari dapurku!”
“Kenapa wanita yang satu ini selalu terlihat cantik di mataku?” Tirta lalu mengedipkan sebelah matanya ke arah Nek Sumi.
“Tirtaa…”
“Hahaaaa…”
“It’s oke, Nek…”
“See, Mom? Ellen baik-baik saja!”
“Tidak malu dengan usiamu?”
“Memang kenapa?”
“Ishhh… Kamu ini!”
“Berapa pun usiaku, aku selalu menjadi pria yang paling tampan untukmu, bukan?” Tirta kembali mengedipkan matanya.
“Don’t you know, anak bungsuku yang paling tampan? Tidak ada yang lebih membuat seorang perempuan merasa ‘enek, selain seorang pria yang merasa dirinya tampan… Apalagi paling tampan!” Nek Sumi lalu memukulnya spatula kayu tepat di atas kepala Tirta.
“Hahaaa… Kamu harus belajar banyak darinya, Len!”
“Hmh?”
Tirta hanya kembali tertawa sambil meninggalkanku dan Nek Sumi.


***

-    dee jp - 



Tidak ada komentar: