‘Tidak
ada istilah konsentrasi terpecah!’.
Kalimat
itu tak henti-hentinya terputar di kepalaku. Tanganku mengaduk-aduk sayuran di
panci, tapi pikiranku tidak disana. Memasak dan bekerja sebagai jurnalis, dua
jenis pekerjaan yang bagiku sudah seperti detak jantung dan aliran darah.
Dengan keduanya, seolah aku… aku seperti baru tetap bisa bernafas dengan keberadaan
kedua pekerjaan itu. Tapi keduanya tidak bisa dijadikan pilihan, karena keduanya
memang hal yang berbeda.
Dengan
kata lain, aku memang benar-benar tetap ingin mengerjakan pekerjaanku sebagai
jurnalis tapi tetap bisa memasak. Pernyataan Nek Sumi, merupakan pembenaran
atas keinginanku. Aku rasa setiap orang akan melakukan hal yang sama denganku, setelah
menemukan ‘dunia’-nya masing-masing. Melelahkan dan sangat melelahkan, menguras
tenaga juga pikiran mengerjakan kedua
pekerjaan itu, tapi aku benar-benar bahagia.
“Perempuan itu harus bisa memasak…”
“Hmh?”
“Melamun?”
“Maaf,
Nek!”
“Mungkin
terdengar sangat kolot, kuno, tidak sesuai perkembangan jaman…”
“Apa?”
“Mengenai
seorang perempuan yang… Pada dasarnya, bagi Nenek, perempuan itu harus bisa
memasak… Berkarir di bidang apa pun…”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Iya,
kenapa?”
Nek
Sumi tersenyum “Masakan khas ibu yang seorang anak rindukan, tidak akan bisa
digantikan makanan termahal di belahan bumi mana pun…”
“Ya!”
“Kamu
setuju?”
“Sangat
setuju!”
Nek
Sumi tersenyum tapi tetap setelah itu menepuk bahuku, agar masakan tidak sampai
gosong meski diselingi obrolan.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar