“So,
why you call my mom with ‘Nenek?’”
“Aku
harus memanggilnya dengan sebutan apa memang?”
“Just
call her with ‘Mom’, Len!”
“Hmh?
“
Nek Sumi dan Kakek Arthur sepertinya mendengar
juga ucapan Tirta, karena keduanya langsung menoleh ke arahku dan Tirta.
“Sampai kapan?” tanyaku sambil melirik ke arah
Nek Sumi.
Nek Sumi hanya tersenyum.
“Selama
menjadi penghuni lantai dua flat 345 sepertinya, Len!” jawab Kakek Arthur
sambil diiringi senyum.
Tirta
kemudian tertawa.
“Hati-hati,
Len!” tambah Nek Sumi lalu mengedipkan mata sebelah kanannya seperti yang Tirta
lakukan.
“I
will!”
Tirta
hanya kembali tertawa.
“Sekali
salah memaknai kata dan kalimat seseorang, kemudian melihatnya dari sudut
pandang yang salah pula… Hasilnya pun akan salah… Lalu berspekulasi… Yang
ujung-ujungnya berakhir pada pemikiran dan kesimpulan negatif!!!”
“Correct,
Arthur!”
Aku
hanya tersenyum.
“Begitu
pula dengan kata-kata dan kalimat yang terlontar dari mulut anak bungsuku itu,
kan?”
“Ya…
Kalau salah memaknai kata-kata dan kalimat Tirta,..”
“Hasilnya
pun akan salah, lalu aku akan berpikir negatif terhadap Tirta… Bukan, begitu?”
“Ya!”
jawab Nek Sumi singkat.
Tirta
memandang bingung ke arahku, Nek Sumi dan Kakek Arthur “So?”
“Yes,
Mom dan Paman Arthur!”
Senyum
Tirta langsung mengembang “Welcome home, Jingga Sumijoyo… My little princess!”
Aku
lihat Nek Sumi memegang erat tangan Kakek Arthur.
“But
i’m Ellen!”
“I
know… Kamu memang bukan Jingga… Tapi usia kalian sama… dan… Well…”
“I
got it, Tirta!”
Tirta
tersenyum lalu menunjukkan foto Jingga Sumijoyo.
“Thank
u!” ucap Nek Sumi tanpa suara dengan air mata yang menetes dari pelupuk matanya
sambil tetap memegang erat tangan Kakek Arthur.
Aku
hanya bisa menganggukkan kepala.
Begitu
aku lihat foto Jingga, wajahnya benar-benar mirip dengan
wajahku. Hanya bentuk mata dan warna rambutnya saja yang sedikit berbeda
denganku. Kalau hanya dilihat sekilas, tidak terlihat sama sekali perbedaan
itu.
Sejak
awal aku mengikuti Tirta perlahan-lahan, tebakanku tentang Tirta ternyata
memang benar. Secara psikis, masih tersisa sedikit trauma pasca kehilangan adik
bungsunya.
Jingga
masih hidup dalam benak Tirta. Sikapnya yang sedikit ‘aneh’ sejak aku datang,
menggambarkan semua itu. Tirta menganggapku
sebagai Jingga, karena itu sikapnya tidak terlihat canggung sama sekali.
Aku
masih belum tahu harus bersikap apalagi selanjutnya, trauma psikis seperti itu
setahuku butuh pemulihan secara bertahap. Kehilangan adik perempuan
satu-satunya, apalagi tepat di hari ulang tahunnya sendiri. Tapi teringat
ucapan seorang sahabat, dalam hal pemulihan trauma psikis seperti ini, bahwa
“Bukan waktu yang dibutuhkan, tapi keberanian!”.
Abizar
pasti akan lebih tahu mengenai sikap yang harus aku lakukan terhadap Tirta,
karena pada kenyataannya aku bukan Jingga. Meski Tirta pun mengatakan dia
menyadarinya, hanya saja wajahku dan wajah Jingga yang memiliki kemiripan, menjadi
hal baru yang harus aku pelajari lebih lanjut penanganannya.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar