Kamis, 23 April 2015

Tirta Sumijoyo ( 12 )




“So, why you call my mom with ‘Nenek?’”
“Aku harus memanggilnya dengan sebutan apa memang?”
“Just call her with ‘Mom’, Len!”
“Hmh? “
Nek Sumi dan Kakek Arthur sepertinya mendengar juga ucapan Tirta, karena keduanya langsung menoleh ke arahku dan Tirta.
“Sampai kapan?” tanyaku sambil melirik ke arah Nek Sumi.
Nek Sumi hanya tersenyum.
“Selama menjadi penghuni lantai dua flat 345 sepertinya, Len!” jawab Kakek Arthur sambil diiringi senyum.
Tirta kemudian tertawa.
“Hati-hati, Len!” tambah Nek Sumi lalu mengedipkan mata sebelah kanannya seperti yang Tirta lakukan.
“I will!”
Tirta hanya kembali tertawa.
“Sekali salah memaknai kata dan kalimat seseorang, kemudian melihatnya dari sudut pandang yang salah pula… Hasilnya pun akan salah… Lalu berspekulasi… Yang ujung-ujungnya berakhir pada pemikiran dan kesimpulan negatif!!!”
“Correct, Arthur!”
Aku hanya tersenyum.
“Begitu pula dengan kata-kata dan kalimat yang terlontar dari mulut anak bungsuku itu, kan?”
“Ya… Kalau salah memaknai kata-kata dan kalimat Tirta,..”
“Hasilnya pun akan salah, lalu aku akan berpikir negatif terhadap Tirta… Bukan, begitu?”
“Ya!” jawab Nek Sumi singkat.
Tirta memandang bingung ke arahku, Nek Sumi dan Kakek Arthur “So?”
“Yes, Mom dan Paman Arthur!”
Senyum Tirta langsung mengembang “Welcome home, Jingga Sumijoyo… My little princess!”
Aku lihat Nek Sumi memegang erat tangan Kakek Arthur.
“But i’m Ellen!”
“I know… Kamu memang bukan Jingga… Tapi usia kalian sama… dan… Well…”
“I got it, Tirta!”
Tirta tersenyum lalu menunjukkan foto Jingga Sumijoyo.
“Thank u!” ucap Nek Sumi tanpa suara dengan air mata yang menetes dari pelupuk matanya sambil tetap memegang erat tangan Kakek Arthur.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Begitu aku lihat foto Jingga, wajahnya benar-benar mirip dengan wajahku. Hanya bentuk mata dan warna rambutnya saja yang sedikit berbeda denganku. Kalau hanya dilihat sekilas, tidak terlihat sama sekali perbedaan itu.
Sejak awal aku mengikuti Tirta perlahan-lahan, tebakanku tentang Tirta ternyata memang benar. Secara psikis, masih tersisa sedikit trauma pasca kehilangan adik bungsunya.
Jingga masih hidup dalam benak Tirta. Sikapnya yang sedikit ‘aneh’ sejak aku datang, menggambarkan semua itu. Tirta  menganggapku sebagai Jingga, karena itu sikapnya tidak terlihat canggung sama sekali.
Aku masih belum tahu harus bersikap apalagi selanjutnya, trauma psikis seperti itu setahuku butuh pemulihan secara bertahap. Kehilangan adik perempuan satu-satunya, apalagi tepat di hari ulang tahunnya sendiri. Tapi teringat ucapan seorang sahabat, dalam hal pemulihan trauma psikis seperti ini, bahwa “Bukan waktu yang dibutuhkan, tapi keberanian!”.
Abizar pasti akan lebih tahu mengenai sikap yang harus aku lakukan terhadap Tirta, karena pada kenyataannya aku bukan Jingga. Meski Tirta pun mengatakan dia menyadarinya, hanya saja wajahku dan wajah Jingga yang memiliki kemiripan, menjadi hal baru yang harus aku pelajari lebih lanjut penanganannya.


***

-    dee jp - 


Tidak ada komentar: