Minggu, 26 April 2015

“Ospek” Universitas Kota Tua ( 1 )




Salah satu tahapan yang digunakan untuk melatih mental, proses untuk membentuk mental yang teruji. Proses yang dilakukan tim atau sekelompok orang yang lebih “senior” kepada mereka yang lebih “junior”. Mengutip kalimat istimewa dari seorang penulis ternama mengenai tahapan ini dengan mengatakan “Kuatkan dirimu… Sekuat kehidupan dan pemahaman!”.
Relevansi pernyataan tersebut dengan sebuah proses “kehidupan mahasiswa baru” yang disebut “ospek” ini, setahuku tidak diragukan lagi kebenarannya. Keduanya memang memiliki keterkaitan erat. Melatih, menguji, membentuk mental dengan tahapan atau proses yang disebut ”ospek”, tahapan yang akan dirasakan “mahasiswa baru”.
Aku menggunakan kutipan itu untuk bahan liputan kali ini. Mengurainya dari sebuah kutipan, memiliki dasar yang kuat agar bisa memahami keseluruhan rangkaian secara utuh. Karena bagiku sulit mencari hal yang bisa dijadikan patokan, ketika semuanya hanya kembali pada individu masing-masing.
Mengutip pula pernyataan John F. Kennedy yang mengatakan “Maafkanlah musuh-musuh anda, tapi jangan pernah melupakan nama-namanya!”. Meski Bung Karno juga pernah mengatakan dengan lantang mengenai “Jas Merah… Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!”.
Karena “Ospek” bukan untuk dijadikan ajang “balas dendam”, tapi “ospek” diadakan untuk membina, melatih dan menguji mental. Mengakrabkan “junior” dan “senior”, termasuk mencari bibit unggul kandidat-kandidat yang akan mewarisi tampuk kepemimpinan “sebuah himpunan”. 
 Tapi tiba-tiba aku teringat pula kalimat Sujiwo Tedjo, bahwa “Semua itu akan ‘heuheu’ pada saatnya…”. Entah, aku salah tafsir atau tidak dengan pernyataan tersebut. Tapi aku menafsirkannya, semua akan lucu pada saatnya. Dan kita akan tertawa bersama mengingatnya, bukan lagi tentang siapa yang tertawa paling akhir.
Bukan pula persoalan menang atau kalah, bahkan bukan juga seri. Mengingat teori filsafat yang pernah aku pelajari, bahwa “Hidup itu bukanlah perlombaan!”.


***

-    dee jp - 


Kamis, 23 April 2015

Tirta Sumijoyo ( 12 )




“So, why you call my mom with ‘Nenek?’”
“Aku harus memanggilnya dengan sebutan apa memang?”
“Just call her with ‘Mom’, Len!”
“Hmh? “
Nek Sumi dan Kakek Arthur sepertinya mendengar juga ucapan Tirta, karena keduanya langsung menoleh ke arahku dan Tirta.
“Sampai kapan?” tanyaku sambil melirik ke arah Nek Sumi.
Nek Sumi hanya tersenyum.
“Selama menjadi penghuni lantai dua flat 345 sepertinya, Len!” jawab Kakek Arthur sambil diiringi senyum.
Tirta kemudian tertawa.
“Hati-hati, Len!” tambah Nek Sumi lalu mengedipkan mata sebelah kanannya seperti yang Tirta lakukan.
“I will!”
Tirta hanya kembali tertawa.
“Sekali salah memaknai kata dan kalimat seseorang, kemudian melihatnya dari sudut pandang yang salah pula… Hasilnya pun akan salah… Lalu berspekulasi… Yang ujung-ujungnya berakhir pada pemikiran dan kesimpulan negatif!!!”
“Correct, Arthur!”
Aku hanya tersenyum.
“Begitu pula dengan kata-kata dan kalimat yang terlontar dari mulut anak bungsuku itu, kan?”
“Ya… Kalau salah memaknai kata-kata dan kalimat Tirta,..”
“Hasilnya pun akan salah, lalu aku akan berpikir negatif terhadap Tirta… Bukan, begitu?”
“Ya!” jawab Nek Sumi singkat.
Tirta memandang bingung ke arahku, Nek Sumi dan Kakek Arthur “So?”
“Yes, Mom dan Paman Arthur!”
Senyum Tirta langsung mengembang “Welcome home, Jingga Sumijoyo… My little princess!”
Aku lihat Nek Sumi memegang erat tangan Kakek Arthur.
“But i’m Ellen!”
“I know… Kamu memang bukan Jingga… Tapi usia kalian sama… dan… Well…”
“I got it, Tirta!”
Tirta tersenyum lalu menunjukkan foto Jingga Sumijoyo.
“Thank u!” ucap Nek Sumi tanpa suara dengan air mata yang menetes dari pelupuk matanya sambil tetap memegang erat tangan Kakek Arthur.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Begitu aku lihat foto Jingga, wajahnya benar-benar mirip dengan wajahku. Hanya bentuk mata dan warna rambutnya saja yang sedikit berbeda denganku. Kalau hanya dilihat sekilas, tidak terlihat sama sekali perbedaan itu.
Sejak awal aku mengikuti Tirta perlahan-lahan, tebakanku tentang Tirta ternyata memang benar. Secara psikis, masih tersisa sedikit trauma pasca kehilangan adik bungsunya.
Jingga masih hidup dalam benak Tirta. Sikapnya yang sedikit ‘aneh’ sejak aku datang, menggambarkan semua itu. Tirta  menganggapku sebagai Jingga, karena itu sikapnya tidak terlihat canggung sama sekali.
Aku masih belum tahu harus bersikap apalagi selanjutnya, trauma psikis seperti itu setahuku butuh pemulihan secara bertahap. Kehilangan adik perempuan satu-satunya, apalagi tepat di hari ulang tahunnya sendiri. Tapi teringat ucapan seorang sahabat, dalam hal pemulihan trauma psikis seperti ini, bahwa “Bukan waktu yang dibutuhkan, tapi keberanian!”.
Abizar pasti akan lebih tahu mengenai sikap yang harus aku lakukan terhadap Tirta, karena pada kenyataannya aku bukan Jingga. Meski Tirta pun mengatakan dia menyadarinya, hanya saja wajahku dan wajah Jingga yang memiliki kemiripan, menjadi hal baru yang harus aku pelajari lebih lanjut penanganannya.


***

-    dee jp - 


Rabu, 22 April 2015

Tirta Sumijoyo ( 11 )




“Kamu bentuk segitiga dengan korek api ini!” Tirta meletakkan 6 batang korek api di atas meja.
“Segitiga?”               
Tirta menganggukkan kepalanya “Bentuk empat buah segitiga dengan enam batang korek api ini!”
“Oke!”
Tirta tersenyum sambil kembali menyeruput kopi hitamnya.
Aku mulai merangkai segitiga dengan menggunakan korek api tersebut.
Segitiga pertama, aku bisa membuatnya dengan mudah. Lalu, segitiga kedua. Tapi begitu mulai merangkai segitiga yang ketiga, aku mulai merasa  kebingungan. Kemudian aku mengulang kembali dari segitiga yang pertama, melakukan langkah yang sama. Tapi, tetap saja aku mulai bingung.
“Koreknya kurang!”
“Give up?”
“Hmh? No!!!” tapi aku tidak mau menyerah begitu saja, aku mulai kembali merangkai dan menggunakan langkah yang berbeda dari langkah sebelumnya.
“Good!” jawab Tirta sambil melanjutkan pekerjaannya.
Aku yakin bisa menyelesaikan puzzle yang Tirta berikan. Tebakan Rei soal pendongeng saja bisa aku ketahui sendiri, kenapa tidak bisa aku selesaikan puzzle yang Tirta berikan.
Berulang-ulang aku membentuk segitiga, empat buah segitiga dengan menggunakan enam batang korek api. Aku tukar-tukar dan aku ganti-ganti langkahnya, tapi aku masih belum menemukan segitiga yang seharusnya. Aku tetap merasa jumlah korek yang digunakan memang kurang, jumlahnya tidak sesuai kalau harus membentuk empat buah segitiga hanya dengan enam batang korek api.
“Aku menyuruh membuat segitiga, Len!”
“Tapi kurang…”
“Yakin?”
“Ya, jumlah batang korek apinya memang kurang kalau untuk membentuk empat buah segitiga…”
Tirta tersenyum.
“Aku yakin!!!”
“Korek apinya cukup…”
“Nggak! Nih lihat!” aku memperlihatkan langkah-langkah yang sudah aku gunakan untuk membuat empat buah segitiga dengan menggunakan enam batang korek api.
Tirta kembali tersenyum “Aku memintamu membuat empat buah segitiga dengan enam batang korek ini!”
“Iya…”
“Tapi aku tidak menyebutkan harus dalam satu dimensi, kan?”
“???”
“Kalau membuatnya dalam satu dimensi, korek apinya memang tidak cukup…”.
“Then?”
“Coba buat dalam tiga dimensi!”
Satu kali rangkai, aku langsung berhasil membuat empat buah  segitiga.
Tirta hanya tersenyum.


***

-    dee jp - 



Selasa, 21 April 2015

Tirta Sumijoyo ( 10 )

“Kopiiii…”
Tirta tersenyum, tapi matanya tak lagi berkedip sebelah. Mungkin karena tadi diomeli Nek Sumi, atau karakter aslinya memang yang ini. Sedangkan tadi, Tirta hanya senang membercandai Nek Sumi.
Aku meletakkan kopi satu per satu, tidak boleh sampai tertukar karena tidak semua kopi memakai gula. Selagi asap masih mengepul, jangan buat cangkir kopimu menunggu.
“Tutup sebelah pintu ke teras belakang, Tirta!” pinta Nek Sumi.
“Jangan!”
“Kenapa?”
Kakek Arthur tersenyum “Bau tanah yang tersiram air hujan, merupakan kebahagiaan kecil untukku…”
“Boleh aku menyela?”
Ketiganya lalu menoleh padaku.
“Aku juga sangat menyukai bau tanah yang baru tersiram air hujan…”
“Bau yang sangat khas, bukan?”
Aku mengangguk setuju.
“Jadi jangan biarkan kopi ini dingin!” Tirta mengaduk kembali cangkir kopinya.
Nek Sumi hanya tersenyum.
Dan aku mulai menyeruput kopi hitamku, sambil menikmati udara segar dari halaman belakang.
Flat ini ternyata memiliki halaman belakang yang luas, halaman belakang yang tidak semua penghuni flat bisa melihatnya. Hanya penghuni lantai satu yang memiliki akses ke halaman belakang, dengan kata lain, hanya pemilik flat yang memiliki akses ke tempat ini. Karena tidak ada jendela yang menghadap ke belakang, jadi penghuni lantai dua sampai empat tidak memiliki akses ke tempat ini.
Tadinya aku pikir bangunan flat ini tepat ber-belakangan dengan bangunan lainnya, karena itu hanya memiliki jendela yang menghadap ke halaman depan. Tapi ternyata tidak, itu hanya trik yang digunakan di bangunan ini. Entah dengan flat-flat lainnya, hanya saja, semua bangunan flat di blok ini memang memiliki bentuk bangunan dan halaman depan yang serupa.
“Hanya ada jendela yang menghadap ke halaman depan?”
“Hmh?”
Tirta tersenyum.
“Jangan bilang… kamu memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang?”
“Hahaaa…”
“Karena aku mempercayai itu!”
Tirta hanya kembali tertawa, kemudian mengajakku duduk di ruang tengah, meninggalkan Nek Sumi dan Kakek Arthur yang mulai mendiskusikan soal menata ulang halaman belakang.


***

-    dee jp -