Jumat, 09 Januari 2015

Morning Compass (Bagian Pertama)



Akhirnya aku bekerja sebagai jurnalis, setelah selama hampir setengah tahun  pasca lulus universitas harus bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan asing. Bukan aku tidak mensyukuri pekerjaan ini, tapi bagiku merupakan sebuah siksaan berat harus bekerja di balik meja sejak pagi hingga sore. Meski kulitku menjadi terlihat lebih putih karena tidak tersengat matahari saat bekerja, meski kemana-mana antar jemput mobil perusahaan, tapi ini sungguh siksaan berat bagiku. Cukup setengah tahun ini saja, hingga akhirnya surat pengunduran diriku diterima dengan baik oleh pimpinan perusahaan.
Aku diterima di surat kabar lokal di sebuah kota kecil, kota kecil di sebelah utara kota tempatku tinggal saat ini. Kota kecil bernama Kota Tua, kota yang masih asing bagiku. Karena tidak banyak yang aku tahu tentang Kota Tua ini, kecuali letak wilayah dan sejarah museum-museumnya saja.  Tapi hal-hal yang tidak diketahui itu yang justru selalu menjadi sesuatu yang sangat menarik bagiku, jadi tidak ada alasan untuk tidak segera menginjakkan kaki di Kota Tua.
***
Di Kota Tua aku menyewa sebuah kamar kecil di lantai dua sebuah flat tua berlantai empat. Harganya lumayan murah, karena sewa bulanan flat ini  sudah termasuk biaya listrik, air dan sampah. Aku pun tidak perlu membawa perabotan rumah karena flat yang kusewa sudah lengkap.
Pemilik flat ini adalah nenek paruh baya janda veteran yang meninggal tertembak sekutu. Tapi ketika aku mengatakan seorang nenek paruh baya, jangan pernah membayangkan kalau kondisinya benar-benar seperti seorang nenek yang sudah bungkuk dan diladeni pembantu. Karena Nek Sumi, begitu panggilannya, dia sangat sehat. Kegiatan berkebun di halaman belakang pun masih dilakoninya, membersihkan rumah, memasak, pergi ke pasar dan segala kegiatan yang selalu dilakoni orang muda.
Nek Sumi memiliki tiga orang anak, ketiganya tinggal di luar negeri.  Dua ikut suaminya setelah menikah, sedangkan anak bungsunya sedang menyelesaikan pendidikan S-2 di Kanada.
Aku sempat bertemu dengan anak bungsu Nek Sumi, tepat ketika dia sedang berpamitan untuk kembali ke Kanada. Hari itu aku datang untuk memberikan kepastian mengenai flat Nek Sumi yang akan kusewa. Mungkin lebih tepatnya bukan bertemu, tapi hanya berpapasan saja.
Tirta namanya. Tinggi, berbadan tegap dan berkulit putih dengan  mata sipit. Lengkapnya Tirta berwajah oriental, sangat mirip dengan Nek Sumi. Dia hanya menganggukkan kepala ketika berpapasan denganku, sedikit mengangkat ujung bibirnya untuk memberi senyum. Aku hanya membalas dengan gerakan yang sama, menghormati sapaan orang asing yang baru saja berpapasan denganku. Sejak saat itu, Tirta tak pernah terlihat lagi di flat ini.
Nek Sumi tinggal di lantai paling bawah atau lantai dasar dari bangunan flat, aku tinggal di lantai dua. Sedangkan orang yang tinggal di lantai tiga, Nek Sumi bilang adalah seorang pegawai bank swasta dari ibukota bernama Adli. Dia tinggi, kurus, berkulit putih dengan rambut sedikit ikal. Nek Sumi pun tidak terlalu banyak berbicara dengannya, dia selalu pulang tengah malam. Kecuali ketika pagi telat berangkat kerja, maka Nek Sumi akan satu bis dengannya, itu pun hanya sedikit berbincang basa-basi saat memilih tempat duduk.
Lalu terakhir orang yang tinggal di lantai paling atas atau di lantai empat, namanya Atar. Dia pelatih beladiri bagi tentara-tentara baru yang masih dalam pelatihan. Atar tinggal di lantai empat bersama istrinya, Meta nama istrinya. Kata Nek Sumi mereka pasangan baru, karena sebelumnya Atar tinggal sendiri di flat milik Nek Sumi.
Meta, istri Atar. Nek Sumi bilang dia bekerja sebagai pengajar di playgroup atau pendidikan anak usia dini. Kata Nek Sumi lagi, dari cara Meta berbicara saja nanti aku akan tahu kenapa Meta memilih pekerjaan sebagai pengajar anak-anak usia dini. Aku harap begitu, aku harap bisa segera bertemu dengannya.
Itulah tetangga-tetanggaku kini. Mulai dari Nek Sumi di lantai dasar. Adli si pegawai bank di lantai tiga, hingga pasangan muda di lantai empat. Aku sendiri di lantai dua… dan mulai hari ini, aku akan memulai hidup baruku disini sebagai jurnalis, bukan lagi sebagai seorang sekretaris.

***

-    dee jp -

Tidak ada komentar: