Senin, 12 Januari 2015

Black Pearl (Part 2)



Abi, lengkapnya Abizar Kartaprana. Salah satu sahabat semasa kuliah dulu. Dua semester ada di kelas yang sama, akhirnya aku dan Abi bersahabat juga. Abi bukan dari sastra, dia anak psikologi. Bagian dari takdir, kelas filsafat mempertemukan aku dan Abi.
Dia sama “sinting”-nya denganku dulu. Berjalan “melawan arah” dan melangkah dengan pemikiran yang teman-teman kampus bilang “Abnormal”, karena aku dan Abi termasuk orang-orang yang percaya dengan mimpi. Hidup tidak bisa berjalan begitu saja, harus ada tujuan sebagai pencapaian. Sekalipun mimpi tidak sampai tujuan sepenuhnya, tapi setidaknya berusaha meraihnya adalah jauh lebih baik dibanding tidak sama sekali. Karena di tengah perjalanan meraih mimpi, akan menjadi “perjalanan” yang penuh warna.
“Individualis dan ambisius!”
“Hahaaa…”
“Masih sama seperti dulu?”
“People changing!”
“Jangan bilang kamu sudah tidak percaya mimpi ‘abnormal’ itu?”
“Hahaaa… Abizar!?! Come on!”
“I know you, Len!”
“Sedikit mengerikan memang bersahabat dengan psikolog!”
“Hahaaa… Tindak tandukmu mudah ditebak!”
“Tapi pemikiranku tidak, kan?”
“Emmmm…”
“Hahaaa… Labirinku terlalu bercabang untukmu, Bi!”
“Itulah kamu, Len!”
“Okkkeee… Aku kehabisan kata!”
“Kasus apa?”
“Standard!”
“Standardmu?”
“Hahaaa… Korupsi pejabat!”
“Di Kota Tua?”
“Menurutmu?”
“Kupikir langka, Len!”
“Langka itu masih berarti ada, bukan tidak ada.”
“Ya!” Abi tersenyum dan mengangguk.
Aku dan Abi menghentikan pembicaraan sejenak, kami harus mulai konsentrasi dengan pekerjaan masing-masing. Aku, naskah harus kulanjutkan, redaksi tak mungkin memberi toleransi untuk headline seperti berita yang kuliput. Langka memang di Kota Tua ada pemberitaan kasus korupsi di kalangan pejabat, tapi langka itu masih diartikan ada dan bukan tidak ada.

***

-    dee jp -

Tidak ada komentar: