Abi,
lengkapnya Abizar Kartaprana. Salah satu sahabat semasa kuliah dulu. Dua
semester ada di kelas yang sama, akhirnya aku dan Abi bersahabat juga. Abi
bukan dari sastra, dia anak psikologi. Bagian dari takdir, kelas filsafat mempertemukan
aku dan Abi.
Dia
sama “sinting”-nya denganku dulu. Berjalan “melawan arah” dan melangkah dengan
pemikiran yang teman-teman kampus bilang “Abnormal”, karena aku dan Abi
termasuk orang-orang yang percaya dengan mimpi. Hidup tidak bisa berjalan begitu
saja, harus ada tujuan sebagai pencapaian. Sekalipun mimpi tidak sampai tujuan
sepenuhnya, tapi setidaknya berusaha meraihnya adalah jauh lebih baik dibanding
tidak sama sekali. Karena di tengah perjalanan meraih mimpi, akan menjadi
“perjalanan” yang penuh warna.
“Individualis
dan ambisius!”
“Hahaaa…”
“Masih
sama seperti dulu?”
“People
changing!”
“Jangan
bilang kamu sudah tidak percaya mimpi ‘abnormal’ itu?”
“Hahaaa…
Abizar!?! Come on!”
“I
know you, Len!”
“Sedikit
mengerikan memang bersahabat dengan psikolog!”
“Hahaaa…
Tindak tandukmu mudah ditebak!”
“Tapi
pemikiranku tidak, kan?”
“Emmmm…”
“Hahaaa…
Labirinku terlalu bercabang untukmu, Bi!”
“Itulah
kamu, Len!”
“Okkkeee…
Aku kehabisan kata!”
“Kasus
apa?”
“Standard!”
“Standardmu?”
“Hahaaa…
Korupsi pejabat!”
“Di
Kota Tua?”
“Menurutmu?”
“Kupikir
langka, Len!”
“Langka
itu masih berarti ada, bukan tidak ada.”
“Ya!”
Abi tersenyum dan mengangguk.
Aku
dan Abi menghentikan pembicaraan sejenak, kami harus mulai konsentrasi dengan
pekerjaan masing-masing. Aku, naskah harus kulanjutkan, redaksi tak mungkin
memberi toleransi untuk headline seperti berita yang kuliput. Langka memang di
Kota Tua ada pemberitaan kasus korupsi di kalangan pejabat, tapi langka itu
masih diartikan ada dan bukan tidak ada.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar