Rabu, 14 Januari 2015

Black Pearl (Part 4)



Pelayan kedai yang tadi mengantar muffin pesananku datang menghampiri Abi, membawa setumpuk kertas. Abi kemudian membubuhkan tanda tangan di atasnya. Dialog ‘asing’ mulai keduanya perdebatkan, hingga Abi berdiri dan melihat ke sekitaran kedai dengan kening mengkerut.
“Bulan depan saja!” ucap Abi.
Pelayan dengan seragam hitam tersebut menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk beberapa spot yang tepat mengarah ke jalan. Dia menjelaskan banyak hal pada Abi, kemudian berjalan ke tempat duduk paling ujung.
“Mungkin di sini, Pak!” ucapnya pada Abi.
Pelayan itu memanggil Abi dengan sebutan ‘Pak?’, kedai kopi ini milik Abi? Mencoba lebih cermat, aku berusaha lebih memperhatikan dialog dan bahasa tubuh keduanya. Memang bukan dialog dan bahasa tubuh antar klien yang sedang membahas soal tempat yang akan disewa. Dialog keduanya lebih ke… dialog atasan dan bawahan.
“Untuk antisipasi musim berikutnya, sebaiknya kita mulai memperbanyak tempat duduk di luar lagi, Pak!”
“Emmm…”
“Sekarang di sepanjang jalur ini memang hanya untuk pejalan kaki!”
“Oiya?”
Pelayan itu menganggukkan kepalanya.
Pembicaraan keduanya pun semakin tak kumengerti, oh well, aku harus segera mengakhiri pekerjaanku. Laporan hasil liputan membutuhkan sentuhan terakhir, selagi Abi tak bisa ‘menggangguku’, sebaiknya aku segera menyelesaikan laporan hasil liputan.
Pertama, membaca ulang naskah sambil mengingat rangkaian liputan.  Lalu, mencoba melihat kembali kasus dari sudut pandang lain secara lebih objektif. Selanjutnya, meyakinkan diri bahwa tulisan sudah merupakan fakta dan bukan opini.
Jujur saja, langkah-langkah ini harus mulai dibiasakan, karena selama ini aku terbiasa membuat tulisan dengan penilaian yang sangat subjektif. Tapi sekarang berbeda, karena tulisan-tulisanku menyangkut kredibilitas perusahaan, jadi penilaian harus lebih objektif.
“Huh!”
“Len?”
“Eh!”
“Selesai?”
“Iya, akhirnya!” ucapku sambil merentangkan kedua tangan.
Abi tersenyum, lalu kembali dengan pekerjaannya.
“Eh, Bi!”
Abi hanya memberi respon dengan isyarat kedua alisnya.
“Ini kedai kopimu?”
Abi hanya mengangguk.
“Serius?”
“Kantorku lebih tepatya!”
“Kantor?”
“Iya!”
“Di kedai kopi?”
“Dulu aku pun berpikir kantor psikolog itu harus selalu seperti… pada lazimnya kantor, sampai akhirnya aku menemukan jawaban. Klienku lebih rileks konsultasi di tempat-tempat seperti ini, jadi kupikir sekalian saja aku buat tempatku sendiri.”
“Black Pearl???”
“Ingat kelas filsafat pertama kita?”
“Kelas Filsafat?”
Abi menatapku sambil menahan senyum.
“Manusia adalah binatang yang berfikir!” ucapku dan Abi bersamaan sambil diiringi tawa.

***

-    dee jp -

Tidak ada komentar: