Pelayan
kedai yang tadi mengantar muffin pesananku datang menghampiri Abi, membawa
setumpuk kertas. Abi kemudian membubuhkan tanda tangan di atasnya. Dialog
‘asing’ mulai keduanya perdebatkan, hingga Abi berdiri dan melihat ke sekitaran
kedai dengan kening mengkerut.
“Bulan
depan saja!” ucap Abi.
Pelayan
dengan seragam hitam tersebut menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk beberapa
spot yang tepat mengarah ke jalan. Dia menjelaskan banyak hal pada Abi,
kemudian berjalan ke tempat duduk paling ujung.
“Mungkin
di sini, Pak!” ucapnya pada Abi.
Pelayan
itu memanggil Abi dengan sebutan ‘Pak?’, kedai kopi ini milik Abi? Mencoba
lebih cermat, aku berusaha lebih memperhatikan dialog dan bahasa tubuh keduanya.
Memang bukan dialog dan bahasa tubuh antar klien yang sedang membahas soal
tempat yang akan disewa. Dialog keduanya lebih ke… dialog atasan dan bawahan.
“Untuk
antisipasi musim berikutnya, sebaiknya kita mulai memperbanyak tempat duduk di
luar lagi, Pak!”
“Emmm…”
“Sekarang
di sepanjang jalur ini memang hanya untuk pejalan kaki!”
“Oiya?”
Pelayan
itu menganggukkan kepalanya.
Pembicaraan
keduanya pun semakin tak kumengerti, oh well, aku harus segera mengakhiri
pekerjaanku. Laporan hasil liputan membutuhkan sentuhan terakhir, selagi Abi
tak bisa ‘menggangguku’, sebaiknya aku segera menyelesaikan laporan hasil
liputan.
Pertama,
membaca ulang naskah sambil mengingat rangkaian liputan. Lalu, mencoba melihat kembali kasus dari
sudut pandang lain secara lebih objektif. Selanjutnya, meyakinkan diri bahwa
tulisan sudah merupakan fakta dan bukan opini.
Jujur
saja, langkah-langkah ini harus mulai dibiasakan, karena selama ini aku
terbiasa membuat tulisan dengan penilaian yang sangat subjektif. Tapi sekarang
berbeda, karena tulisan-tulisanku menyangkut kredibilitas perusahaan, jadi penilaian
harus lebih objektif.
“Huh!”
“Len?”
“Eh!”
“Selesai?”
“Iya,
akhirnya!” ucapku sambil merentangkan kedua tangan.
Abi
tersenyum, lalu kembali dengan pekerjaannya.
“Eh,
Bi!”
Abi
hanya memberi respon dengan isyarat kedua alisnya.
“Ini
kedai kopimu?”
Abi
hanya mengangguk.
“Serius?”
“Kantorku
lebih tepatya!”
“Kantor?”
“Iya!”
“Di
kedai kopi?”
“Dulu
aku pun berpikir kantor psikolog itu harus selalu seperti… pada lazimnya
kantor, sampai akhirnya aku menemukan jawaban. Klienku lebih rileks konsultasi di
tempat-tempat seperti ini, jadi kupikir sekalian saja aku buat tempatku
sendiri.”
“Black
Pearl???”
“Ingat
kelas filsafat pertama kita?”
“Kelas
Filsafat?”
Abi
menatapku sambil menahan senyum.
“Manusia
adalah binatang yang berfikir!” ucapku dan Abi bersamaan sambil diiringi tawa.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar