Kopi,
pagi dan naskah. Sahabat setia yang selalu ada, di tempat berbeda sekalipun.
Sesekali ditemani roti selai kacang, muffin, pancake atau makanan sejenisnya
sebagai menu sarapan. Aku hampir jarang mengisi pagi dengan makanan berat, bukan kebanyakan gaya,
tapi memang telah terbiasa seperti itu sejak kecil.
Pagi
ini, kopi hitam tanpa gula yang menemaniku. Bagus kupikir untuk membangunkan
sel-sel di kepalaku, setelah selama hampir satu minggu tak tidur cukup. Liputan
tanpa jeda, itu yang menjadi “tersangka” utama yang membuat jam tidurku
berkurang. Tapi hidup adalah pilihan, aku telah memilih.
Aku
harus segera mengirim laporan hasil liputan, laporan hasil liputan yang siang
nanti naskahnya harus sudah ada di meja redaksi.
“Muffin
cokelatnya, Kak!”
“Ya?”
“Pesan
muffin cokelat?”
“Ah
iya, taruh disini saja!” aku menggeser cangkir kopiku.
“Adalagi?”
“Emmm…
Tidak, terima kasih!”
“Permisi,
Kak!”
“Ya!”.
Pelayan
kedai pun berlalu dengan menyisakan senyum ramahnya dalam ingatanku.
Tanganku
kembali menari-nari merangkai huruf menjadi kata, hingga berupa paragraf lalu
naskah yang harus segera dikirim. Jujur saja, dalam keadaan kurang tidur
seperti ini, labirin pikiranku akan melantur tak terarah.
Konsentrasi,
satu kata, konsentrasi.
Awal
liputan aku mulai dengan menemui satpam yang berjaga di malam hari, hanya
basa-basi saja. Aku mencoba membaca situasi terlebih dahulu sebelum melangkah
ke tahap yang lebih jauh. Sebagai orang baru di kota ini, tentu aku tidak boleh
bertindak gegabah.
Hari
berikutnya, aku mulai mencari data dan informasi lengkap agar data tidak berupa
opini tapi harus fakta. Kemudian selanjutnya, aku mulai menemui beberapa staff,
orang-orang pajak dan tetangga-tetangga terdekat.
“Renata
Ellen!”
“Ya?”
Senyum
kedua pagi ini menyapa tepat di depanku.
“Emmm?”
“Dunia
memang sempit!”
“Untuk kembali bertemu dengan orang yang sama
di kemudian hari, dunia memang sempit!”
“You
got the point, Len!”
“Abiiii…”
“Apa
kabar, Len?”
“Much
better!”
“Hahaaaa…”
tawa khas Abi masih terdengar renyah.
“Ngapain
disini?”
“Mencari
ketenangan!”
“Hahaaa…
Psikolog butuh ketenangan juga?”
“I
only human, Len!”
“Okkeee…”
“Harus
ada yang menemani kita ngobrol!”
Aku
mengernyit bingung.
“Secangkir
kopi lainnya, mungkin?” telunjuk kanan Abi menunjuk cangkir kopiku.
Aku
mengambil ransel dari kursi di sampingku “Belum ada penumpangnya!”.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar