Minggu, 11 Januari 2015

Black Pearl (Part 1)



Kopi, pagi dan naskah. Sahabat setia yang selalu ada, di tempat berbeda sekalipun. Sesekali ditemani roti selai kacang, muffin, pancake atau makanan sejenisnya sebagai menu sarapan. Aku hampir jarang mengisi pagi  dengan makanan berat, bukan kebanyakan gaya, tapi memang telah terbiasa seperti itu sejak kecil.
Pagi ini, kopi hitam tanpa gula yang menemaniku. Bagus kupikir untuk membangunkan sel-sel di kepalaku, setelah selama hampir satu minggu tak tidur cukup. Liputan tanpa jeda, itu yang menjadi “tersangka” utama yang membuat jam tidurku berkurang. Tapi hidup adalah pilihan, aku telah memilih.
Aku harus segera mengirim laporan hasil liputan, laporan hasil liputan yang siang nanti naskahnya harus sudah ada di meja redaksi.
“Muffin cokelatnya, Kak!”
“Ya?”
“Pesan muffin cokelat?”
“Ah iya, taruh disini saja!” aku menggeser cangkir kopiku.
“Adalagi?”
“Emmm… Tidak, terima kasih!”
“Permisi, Kak!”
“Ya!”.
Pelayan kedai pun berlalu dengan menyisakan senyum ramahnya  dalam ingatanku.
Tanganku kembali menari-nari merangkai huruf menjadi kata, hingga berupa paragraf lalu naskah yang harus segera dikirim. Jujur saja, dalam keadaan kurang tidur seperti ini, labirin pikiranku akan melantur tak terarah.
Konsentrasi, satu kata, konsentrasi.
Awal liputan aku mulai dengan menemui satpam yang berjaga di malam hari, hanya basa-basi saja. Aku mencoba membaca situasi terlebih dahulu sebelum melangkah ke tahap yang lebih jauh. Sebagai orang baru di kota ini, tentu aku tidak boleh bertindak gegabah.
Hari berikutnya, aku mulai mencari data dan informasi lengkap agar data tidak berupa opini tapi harus fakta. Kemudian selanjutnya, aku mulai menemui beberapa staff, orang-orang pajak dan tetangga-tetangga terdekat.
“Renata Ellen!”
“Ya?”
Senyum kedua pagi ini menyapa tepat di depanku.
“Emmm?”
“Dunia memang sempit!”
 “Untuk kembali bertemu dengan orang yang sama di kemudian hari, dunia memang sempit!”
“You got the point, Len!”
“Abiiii…”
“Apa kabar, Len?”
“Much better!”
“Hahaaaa…” tawa khas Abi masih terdengar renyah.
“Ngapain disini?”
“Mencari ketenangan!”
“Hahaaa… Psikolog butuh ketenangan juga?”
“I only human, Len!”
“Okkeee…”
“Harus ada yang menemani kita ngobrol!”
Aku mengernyit bingung.
“Secangkir kopi lainnya, mungkin?” telunjuk kanan Abi menunjuk cangkir kopiku.
Aku mengambil ransel dari kursi di sampingku “Belum ada penumpangnya!”.
***

-    dee jp -

Tidak ada komentar: