Arthur
Sumijoyo, arkeolog berusia 70 tahun. Di usianya yang sudah tidak lagi muda,
masih tetap melakukan pekerjaan lintas benua. Masih berpetualang untuk
mengungkap fakta sejarah masa lalu, bukan untuk mencari kebenaran akan sejarah
itu sendiri.
Aku
rasa menyenangkan bisa melakukan pekerjaan yang tidak perlu atau tidak pernah
ada pensiunnya, seperti yang Kakek Arthur lakukan. Nek Sumi bilang, itu pilihan
hidup namanya bagi Arthur. Dia melakukan hal yang dia sukai, dari sana dia
mendapatkan penghidupan, jadi seumur hidupnya Arthur tidak pernah merasa
bekerja.
Nek
Sumi dan Kakek Arthur hanya dua bersaudara, Arthur dan Martha Sumijoyo.
Kemudian Nek Sumi menyingkat nama panggilannya menjadi Nek Sumi, diambil dari
nama belakangnya. Padahal tadinya kupikir Sumi itu kependekan dari Sumira atau
Sumini atau Sumi yang lainnya.
“Sekarang
Arthur sedang di…”
“Itu
kartu pos dari Kakek Arthur?”
“Ya!”
jawab Nek Sumi singkat.
Sementara
Nek Sumi membaca surat-surat dan kartu pos kiriman Kakek Arthur, aku dan Kak
Meta memutuskan untuk mulai membakar jagung. Cerita tentang Arthur Sumijoyo
akan menjadi ‘perjalanan’ panjang yang lebih seru, setelah cerita tentang
Abizar.
“Tidak
membaca surat-suratmu dulu, Len?”
“Hmh?”
“Surat-suratmu?”
“Aku
sudah tahu isinya seperti apa…”
“Are
you sure?” Kak Meta senyum-senyum sambil mengedip-ngedipkan bulu mata lentiknya.
“Surat
tagihan kelanjutan naskah…”
“O-ow!
Okeee… ‘Dunia’-mu itu?”
“Hahaaaa…”
“Kamu
yang olesi jagung dengan mentega, biar aku yang mengipasi baranya, Len!”
“Agar
aku yang terkena asapnya, Kak?”
Kak
Meta hanya tertawa kecil.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar