“Tapi
Bell’s Palsy selalu meninggalkan jejak…”
“Meninggalkan
jejak bagaimana?”
“Meninggalkan
bekas kalau kedatangannya tak boleh dilupakan…”
“Maksud anda?”
“Kantung
mata kananku tak lagi sekuat kantung mata kiri…”
“Lalu?”
“Ujung
pipi kiriku tak seperti ujung pipi kanan…”
Aku
terkejut mendengar pernyataannya.
“Rahang
kiriku sedikit bergeser…”
“Ada
lagi?”
“Ada
tapi yang ini menyenangkan…”
“Kenapa
begitu?”
“Aku
sekarang bisa mengangkat sebelah alisku… Alis kiriku saja…” ucapnya sambil
tertawa.
Aku
tersenyum.
“Sejak
Bell’s Palsy pertama sembuh, aku harus sering mengunyah permen karet juga…”
“Kenapa?”
“Agar
otot wajahku selalu lentur dan terlatih… Selain melakukan senam muka setiap
pagi…” jelasnya lagi.
“Lain
kali aku bawakan permen karet?”
“Rasa
mint…”
“Kenapa
hanya mint?”
“Agar
gigiku tidak sakit… Nanti Bell’s Palsyku sembuh, gigiku yang sakit…”
“Hahaaa…”
“Menyenangkan
bukan bersahabat dengan Bell’s Palsy?” ucapnya dengan wajahnya yang kini telah
kembali normal.
Aku
tak tahu harus memberi respon apa lagi.
“Sekarang
aku lebih senang…”
“Lebih
senang bagaimana?”
“Karena
aku tak lagi diliputi rasa takut… ”
“Setiap
peristiwa selalu terjadi untuk sebuah alasan?”
“Yes…
Saudara sepupuku bilang begit…”
“Kak…”
“Ya?”
“Anginnya
sudah mulai kencang!” suster jaga menghampiri sambil membawa selimut.
“Ah
iya maaf, suster… Aku meminjam pasien anda terlalu lama…”
“Tidak
apa-apa… Ceritanya kita lanjutkan di dalam saja?” suster tersebut tersenyum
ramah.
“Kita
sambil jalan saja…” tambahku.
Dia
tersenyum sambil memutar kursi rodanya.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar