Setiap
orang dewasa pernah menjadi anak-anak, tapi tak mudah bagiku menceritakannya
kembali. Apalagi harus membuat cerita khayalan, cerita yang penuh imajinasi, cerita atau
dongeng untuk anak-anak. Benar-benar tidak mudah, karena harus sangat selektif
menentukan jalan cerita dan memilih kata-kata.
“Jangan kebanyakan mikir!” Rei menepuk
pundakku.
“Argh!”
“Hahaaa…”
“Ceritamu
mana?”
“Hahaaa…”
“Berhenti
tertawa, Rei!!!”
“Pada
saat Rallen menanyakan ‘mana ceritamu?’…”
“Apa?”
“Itu
pertanda seorang Rallena belum menuliskan apa-apa untuk ceritanya….”
“Hahaaa…”
“Sekarang
kamu yang tertawa?”
“Iyyyaaaa
kamu menang, Reiii…”
“Aku
memang selalu menang!”
“Argh!”
“Menyebalkan!”
“Reiiiiii….”
“Hahaaa…
Kata ‘menyebalkan’ kan yang ingin kau katakan padaku, Nona Rallen?”
“Ellena,
Rallena, Rallen… Semua saja kamu sebut?”
“Aku
senang mengganti-ganti namamu…”
“Aku
bukan tokoh fiksimu, Reiii…”
“Menurutmu?”
“Apa
aku sebegitu meng-inspirasi-mu, Rei?”
“Argh!”
“Menyebalkan!”
“Elleennaaa…”
“Hahaa…
Kata ‘menyebalkan’ kan yang ingin katakan padaku, Tuan Anrei?”
“Haha…”
“Aku
menang?”
“Kita
seri!!!”
“Shake
hand?”
“Hahaaa…
Baiklahhhh…”.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar