“Selain
menghuni sungai ini, apa kau pernah berenang ke lautan?” tanya Si Anak Nelayan.
Si
Ulat Gendut tertawa “Tentu sajaaa… Si Siluman Hitam itu bekerja sebagai koki di
dapur istana Si Hantu Bajak Laut…”
“Betulll…” jawab Si Siluman Hitam.
“Lihat
saja kulitnya semakin hari semakin hitam… Kalau Si Hantu Bajak Laut tidak ada,
kerjanya hanya berjemur di pinggir sungai atau pantai… ”
“Heiiii…
Dibanding kamu, Ulat Gendut!”
“Apa?
Memangnya aku kenapa?”
“Kerjamu
hanya makan dan makan… Lihat badanmu sudah semakin gendut dan bulat, kalau
jatuh langsung menggelinding…”
“Biar
saja gendut, asalkan tidak hitam…”
“Biar
saja hitam, tapi aku kan jago renang… Daripada kamu, tidak bisa renang
sepertiku… Kamu iri denganku, kan??? Karena kamu hanya bisa berenang di atas
genangan air… Payah!!!”
“Enak
saja!!! Aku sekarang sudah bisa renang tauuuuuu…”
“Tapi
hanya renang di permukaan sungai… Tidak sampai bisa menyelam ke dasar
sepertiku… Renang di permukaan? Hahaaa… Itu kan sangat dangkal… ”
“Aku
sudah bisa renang!!!”
“Ayo
menyelam hingga dasar kalau begitu??? Bisa tidak?”
“Huh… Dasar siluman hitam!!!”
“Nggak
bisa renang! Nggak bisa renang!”
“Huh…
Hitaaaaam!”
“Yee-yeee…
Si Ulat Gendut nggak bisa renang!”
“Hitaaaaaaammmm!”
“Gendut!”
Si
Anak Nelayan tertawa.
“Jangan
tertawa!!!” ucap Si Siluman Hitam dan Si Ulat Gendut bersamaan.
Si
Anak Nelayan tawanya langsung terhenti.
“Dibanding
kamu, kerjamu hanya menangisssss… Mengganggu tidur siang kami berdua…” ucap Si
Ulat Gendut dan Si Siluman Hitam bersamaan “Hari ini jatuh… Kemarin-kemarin
sakit gigi… Lalu besok apa?”
Si
Anak Nelayan diam dan kembali menundukkan kepala.
Tapi
tiba-tiba begitu menengadah, ketiganya langsung tertawa terbahak-bahak
bersamaan.
“Sudah…
Sudah… Perutku sudah sakit karena terus tertawa…”
“Iya,
aku juga sama…”
“Aku
juga…”
“Matahari
pun sebentar lagi tenggelam, pertanda Si Hantu Bajak Laut akan segera kembali
dari perjalanan ke segitiga bermuda… Aku harus segera memasak untuk makan malam…”
“Iya,
aku harus pulang juga, kakiku perlu dibalut agar lukanya cepat kering… Ayahku
sebentar lagi pulang melaut…” jelas Si Anak Nelayan.
“Aku
akan mencari pohon baruuuu… Untuk makan malamku…” tambah Si Ulat Gendut sambil
menggeliat.
“Kalau
begitu, aku pulang duluan yaaa… Dadah siluman hitam… Dadaaahhh ulat genduutt…”
Si Anak Nelayan melambaikan kedua tangannya dengan kaki yang masih sedikit
terasa sakit.
“Iya-iya…
Hati-hati di jalan… Jangan jatuh lagi dan jangan cengeng lagi ya, Anak
Nelayan!!!”
“Baiklahhh…
Dadaaahhh… Sampai bertemu lagi yaaa!!!”
“Ya-ya-ya…
Dadahhzz… Hoammzzz…” jawab Si Ulat Gendut singkat sambil kembali menguap.
Sejak
saat itu ketiganya pun mulai menjalin persahabatan, hingga tua, hingga akhir
hayat. Ketiganya menjadi sahabat, dengan cara seperti itu, cara aneh, cara
mereka.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar