Rei
fokus dengan naskahnya, aku masih belum ada ide. Selama menulis naskah fiksi,
aku belum pernah menulis cerita anak-anak. Rei, dia berpengalaman membuat
cerita anak-anak. Karena itu labirin pikirannya berjalan ‘mulus’, mengalir
tanpa tersendat.
“Masih
belum terpikir juga?”
Aku
hanya menggelengkan kepala.
“Payah
benar kamu kali ini…”
“Apa boleh buat…”
“Lalu?”
“Entahlah…”
“Coba
kamu perhatikan sekitar, biasanya kan ide datang dari mana saja… Masa kamu mau menyerah begitu saja?”
“Sorry…
Tidak ada kata menyerah dalam kamusku!”
“That’s
my girl!”
“A-ha!”
“Ellena
is a Girl…”
“Argh!”
“And
Ellena is My Friend…”
“Rei…”
“So,
Ellena is My…”
“Jangan
pernah menyatukan kedua hal itu!!!” ucapku tegas sambil mengacungkan jari
telunjuk tepat hingga ke depan hidung Rei.
“Haha…”
“Karena
artinya akan berbeda, Reiiiiii…”
Tawa
Rei semakin menjadi-jadi.
Menyebalkan,
berhari-hari mencari ide, berpikir keras tapi belum juga menemukan ide akan
menulis cerita seperti apa. Aku tak mau kalah dari Rei, aku tidak suka
melihatnya semakin menertawakanku hanya ditemani naskah kosong menemui Kak Meta
nanti.
Semakin
Rei fokus dengan naskahnya, aku malah mulai ketar-ketir. Baru aku menulis
beberapa kalimat, tapi segera kuhapus karena aku tidak tahu kemana arah
ceritanya.
“Sekolah
Kak Meta membutuhkan story teller, kan?”
Aku
hanya menganggukkan kepala.
“Lalu
apa masalahmu?”
“Aku
belum punya cerita untuk dibacakan, Reiii…”
“Ahhh
Ellenaaa…”
“Apa?”
“Aku
punyaaaa… Kenapa masih harus menguras tenaga???”
“Maksudmu?”
Rei
hanya tersenyum.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar