Pada
suatu hari di tepi sungai, duduklah seorang anak laki-laki di atas batu ampar
berwarna hitam. Rambutnya mengembang bak sarang burung, kedua tangannya kotor oleh tanah. Matanya yang
sedikit sipit, tak henti-hentinya mengeluarkan air mata.
“Hiks… Hiks… Hiks…”.
Anak
laki-laki itu terus dan terus menangis. Kedua pipinya mulai kotor karena
sesekali tangan kotornya mengusap air mata.
“Hiks…
Hiks… Hiks…”.
Nafasnya
mulai tersendat-sendat, matanya mulai merah. Anak laki-laki itu mulai terlihat
semakin kesal, maka ia mulai melempar batu kerikil ke tengah sungai.
“Hiks…
Hiks… Hiks…”
Semakin
lama, anak laki-laki itu pun semakin banyak melempar batu.
“Hiks…
Hiks… Hiks…”
“Argh!”
tiba-tiba terdengar suara dari balik dedaunan pohon akasia di samping batu
ampar.
Kemudian,
muncul lah seekor ulat gendut sambil mengulat-ulat. Lalu Si Ulat Gendut itu
berjalan dari balik daun untuk melihat siapa yang menimbulkan suara bising di
tengah tidur siangnya.
“Ahhh
Si Anak Nelayan itu lagi!!!” ucap Si Ulat Gendut.
Ulat
gendut pun beranjak dari dedaunan menuju ranting, dahan dan akhirnya sampai di
tangkai yang paling dekat dengan Si Anak Nelayan.
“Kamu
lagi! Kamu lagi!” gerutu Si Ulat Gendut.
Sementara
itu Si Anak Nelayan hanya terus saja menangis tanpa menghiraukan Si Ulat Gendut
yang terbangun dari tidur siangnya yang nyenyak.
“Hiks…
Hiks… Hiks…”
“Kamu
kenapa lagi?” tanya Si Ulat Gendut.
“Hiks…
Hiks… Hiks…”.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar