Selasa, 31 Maret 2015

Capulet versus Montague ( Part 2 )



Bram dan Axel masih menatapku bingung.
Aku hanya tersenyum kecil lalu menarik nafas panjang, sambil sedikit menggeser kursiku dan menyingkirkan cemilan-cemilan di depanku “Dengerin!!!”.
                                        
“Juliet, maafkan aku!”
“Kau sungguh memprihatinkan, Romeo!!!”
“Maafkan aku, Juliet!”       
“Kau menggunakan kesalahan orang lain untuk menutupi semua kejahatanmu terhadapku!!!”
“Tidak, Juliettt!”
“Mungkin hari ini keluargamu bisa tertawa dengan gagah di depan keluargaku… Membenciku, menertawaiku, menyalahkan aku… Tapi, itu semua terjadi hanya karena aku masih menutupi semua kejahatan yang kau lakukan terhadapku!!!”
“Tolong aku, Juliet!!!”
“Kau pikir aku tidak tahu semua itu???”
“Maafkan aku, Julietttt!!!”
“Banyak yang bungkam terhadap rekam jejak kejahatanmu, bukan karena tidak berani, tapi karena masih ingin tahu sejauh mana kau mampu me-lompat dan menyembunyikannya!”
“Tidak, Juliett!!!”
“Kau pikir aku tidak punya saksi dan bukti?“
 “Jangan, Juliet!!!”                                     
“Jika sedikit saja aku mengeluarkan saksi dan bukti kejahatan yang telah kau lakukan… Aku tidak yakin kau dan seluruh keluargamu masih bisa tersenyum, di depan cermin sekali pun!!!”
“Jangan, Juliet!!!”
“Aku masih menutupi semua kejahatan yang kau lakukan, kau tahu kenapa, Romeo?”
“Juliet???”
“Aku menutupi semua kejahatanmu hanya karena aku butuh tahu, sebesar apa nyalimu sebagai laki-laki untuk mengakui semua kejahatanmu terhadapku, di depan keluargamu sendiri!!!”
“Aku minta maaf, Juliet!!!”.

***

-    dee jp -

Senin, 30 Maret 2015

Capulet versus Montague ( Part 1 )



Tidak ada yang lebih menyenangkan dalam bekerja, selain mendapat libur di hari yang sama dengan rekan satu pekerjaan. Bisa menyusuri, menceritakan dan melakukan banyak hal. Tanpa perlu dikejar tenggat waktu, dikejar naskah yang ditunggu di meja pimpinan redaksi.
Tempat-tempat baru selalu menjadi hal yang menarik bagiku, begitu juga dengan kedua partner ter-dahsyat dalam meliput. Siapa lagi kalau bukan Bramantyo dan Axel. Menjadikan hal-hal konyol sebagai bahan tertawaan, untuk menyegarkan pikiran pasca liputan berat. Satu hal yang sangat mampu menyatukan kami bertiga, kopi.
Pencair suasana, pemersatu cerita, dalam situasi apapun dan dalam bentuk apapun, di mana pun. Kopi apa saja, manis atau pahit, dingin atau hangat, tidak menjadi masalah untuk kami bertiga. Selama ada kopi, selama itu pula ‘diskusi’ kami bertiga akan sulit dihentikan.
Tapi kali ini tidak, bukan kopi yang menyatukan cerita konyol aku dan kedua rekan kerjaku ini. Cemilan sehat yang menjadi pemersatu kami, meski sebetulnya tidak semua cemilan sehat. Beberapa diantaranya cemilan  sehat dan sisanya tidak. Dan, tentu saja jenis cemilan sehat masih tetap kalah jumlah dibanding cemilan tidak sehat.
“Menurut kamu, pertunjukkan drama Capulet versus Montague kemaren gimana?”
Aku melirik Axel karena mulutku masih dipenuhi keripik kentang.
“Keren!” jawab Axel singkat.
“Kamu, Len?”
“Nggak keren!”
“Wah???”
“Serius???”
“Tapi keren banget!”
“Huuu!!!”
“Yahhh!!!”
“Hehe… Baru tahu loh di Kota Tua ada gedung pertunjukkan!”
“Searching dong makanya, buat nambah referensi pengetahuan umum, jangan berita politik aja yang dicari… Sekali-sekali seni juga perlu dibaca sejarahnya!”
“Iya-iya… Tahun berapa sih gedung pertunjukkan itu dibangun?”
“Setahuku sihh dari sekitar awal abad 19…”
“Really???”
“Yap!”
“Sering ya pertunjukkan kayak kemaren gitu?”
“Yaaa… Setahun masih bisa dihitung jari lah!”
“Sponsor sih ya?”
“Salah satunya…”
“Berat sih kalo cerita kayak kemaren!”
“Iya juga sih…!”
“Bagian mana yang paling kamu suka dalam Capulet versus Montague kemaren, Len?”
“Bagian akhirnya paling aku suka…”
“Bagian akhir?”
“Yang mana?”
“Dialog-dialog terakhir Juliet ke Romeo…”
Bram dan Axel saling pandang lalu menoleh bingung kepadaku “Dialog yang mana?”
“Masa nggak inget?”.


***

-    dee jp -

Rabu, 25 Maret 2015

Siluman Hitam, Ulat Gendut & Anak Nelayan ( 9 )



Tawa Kak Meta tak bisa berhenti setelah mendengar cerita yang Rei buat, termasuk gayaku dan gaya Rei menceritakannya. Suara yang berganti-ganti, nada tinggi dan nada rendah, tawa dan tangis yang digunakan dalam teknik bercerita.
“Perlu sedikit koreksi…” jelas Kak Meta.
“Oke…”                                                   
“Kak Meta lebih tahu bagian apa saja yang harus dikoreksi!”
“Tidak apa-apa, Rei?” tanya Kak Meta.
“Tentu saja… “
Kak Meta kemudian menyeka air matanya karena tawanya yang sulit berhenti berhasil membuat air matanya keluar.


***

-    dee jp -

Selasa, 24 Maret 2015

Siluman Hitam, Ulat Gendut & Anak Nelayan ( 8 )



“Selain menghuni sungai ini, apa kau pernah berenang ke lautan?” tanya Si Anak Nelayan.
Si Ulat Gendut tertawa “Tentu sajaaa… Si Siluman Hitam itu bekerja sebagai koki di dapur istana Si Hantu Bajak Laut…”
“Betulll…” jawab Si Siluman Hitam.                 
“Lihat saja kulitnya semakin hari semakin hitam… Kalau Si Hantu Bajak Laut tidak ada, kerjanya hanya berjemur di pinggir sungai atau pantai… ”
“Heiiii… Dibanding kamu, Ulat Gendut!”
“Apa? Memangnya aku kenapa?”
“Kerjamu hanya makan dan makan… Lihat badanmu sudah semakin gendut dan bulat, kalau jatuh langsung menggelinding…”
“Biar saja gendut, asalkan tidak hitam…”
“Biar saja hitam, tapi aku kan jago renang… Daripada kamu, tidak bisa renang sepertiku… Kamu iri denganku, kan??? Karena kamu hanya bisa berenang di atas genangan air… Payah!!!”
“Enak saja!!! Aku sekarang sudah bisa renang tauuuuuu…”
“Tapi hanya renang di permukaan sungai… Tidak sampai bisa menyelam ke dasar sepertiku… Renang di permukaan? Hahaaa… Itu kan sangat dangkal… ”
“Aku sudah bisa renang!!!”
“Ayo menyelam hingga dasar kalau begitu??? Bisa tidak?”
 “Huh… Dasar siluman hitam!!!”
“Nggak bisa renang! Nggak bisa renang!”
“Huh… Hitaaaaam!”
“Yee-yeee… Si Ulat Gendut nggak bisa renang!”
“Hitaaaaaaammmm!”
“Gendut!”
Si Anak Nelayan tertawa.
“Jangan tertawa!!!” ucap Si Siluman Hitam dan Si Ulat Gendut bersamaan.
Si Anak Nelayan tawanya langsung terhenti.
“Dibanding kamu, kerjamu hanya menangisssss… Mengganggu tidur siang kami berdua…” ucap Si Ulat Gendut dan Si Siluman Hitam bersamaan “Hari ini jatuh… Kemarin-kemarin sakit gigi… Lalu besok apa?”
Si Anak Nelayan diam dan kembali menundukkan kepala.
Tapi tiba-tiba begitu menengadah, ketiganya langsung tertawa terbahak-bahak bersamaan.
“Sudah… Sudah… Perutku sudah sakit karena terus tertawa…”
“Iya, aku juga sama…”
“Aku juga…”
“Matahari pun sebentar lagi tenggelam, pertanda Si Hantu Bajak Laut akan segera kembali dari perjalanan ke segitiga bermuda… Aku harus segera memasak untuk makan malam…”
“Iya, aku harus pulang juga, kakiku perlu dibalut agar lukanya cepat kering… Ayahku sebentar lagi pulang melaut…” jelas Si Anak Nelayan.
“Aku akan mencari pohon baruuuu… Untuk makan malamku…” tambah Si Ulat Gendut sambil menggeliat.
“Kalau begitu, aku pulang duluan yaaa… Dadah siluman hitam… Dadaaahhh ulat genduutt…” Si Anak Nelayan melambaikan kedua tangannya dengan kaki yang masih sedikit terasa sakit.
“Iya-iya… Hati-hati di jalan… Jangan jatuh lagi dan jangan cengeng lagi ya, Anak Nelayan!!!”
“Baiklahhh… Dadaaahhh… Sampai bertemu lagi yaaa!!!”
“Ya-ya-ya… Dadahhzz… Hoammzzz…” jawab Si Ulat Gendut singkat sambil kembali menguap.
Sejak saat itu ketiganya pun mulai menjalin persahabatan, hingga tua, hingga akhir hayat. Ketiganya menjadi sahabat, dengan cara seperti itu, cara aneh, cara mereka.

***

-    dee jp -