“Padahal
kadang-kadang saya muji dia loh, Bram…”
“Yahhhh…”
“Kenapa,
Len?”
“Si
Ellen aja tau kali, Xel!”
“Iyalah…
Itu kan salah satu jenis ‘makanan’ untuk ego kalian…”
“???”
Axel hanya menggeleng.
“Ga
ngerti?????” ucapku dan Bram bersamaan.
Axel
hanya menggeleng.
“Serius,
Bram?” ucapku cengar-cengir.
Bram
hanya tertawa sambil menepuk keningnya.
Tidak
hanya perempuan yang punya rahasia, laki-laki pun begitu. Urusan hati ibarat
rantai makanan, salah satu urutan ada yang terputus, bisa membuat punah seluruh urutan rantai
yang saling membutuhkan.
Bram pun selalu hadir bak dewan pakar para
jurnalis laki-laki di bidang urusan hati, meski terkadang sarannya
‘menyesatkan’. Tanpa pikir panjang, Bram memberikan saran selalu dengan kalimat-kalimat
ambigu dan bersayap.
Dalam
hitungan tiga, Axel pun kali ini sudah menjadi ‘korban’ saran-saran Bram yang
terkadang tidak hanya ‘menyesatkan’ tapi juga ‘lempar batu sembunyi tangan’.
Karena kalimat-kalimat ambigu dan bersayap itu, beda individu, memahami kalimat
Bram dengan makna yang berbeda pula. Bram hanya tinggal mengelak dan bilang ‘Lah, waktu itu
maksud saya tuh begini… Bukan begitu… Jangan asal makanya!!’. Tapi tetap saja,
semua kembali curhat ke Bram.
“Santai
aja kali, Xel?”
“Santai
gimana?”
“Ya
santai… Jangan terlalu dipikirin…”
Axel
hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Ngerti
tapi, Xel?” tanyaku penasaran.
Axel
nyengir dan menggelengkan kepala.
“Oh
my…”
Bram
tertawa.
“Pasti
pada curhaaattttt!!!”
“Asty!”
“Kenapa,
Braaam?”
“Tidak
perlu berteriak-teriak wahai anak muda…”
“Heheee… Curhat apa?”
“Perkara…
hati… jurnalis muda…” sambar Cahyo begitu muncul di meja bundar setelah Asty.
“Hahaaa…”
“Ckkk
ahhh… Si Cahyo menyelesaikan masalah tanpa solusi…”
“Tapi
kan tidak menyesatkan kayak Si Bram!!!” sanggah Cahyo.
“Waduuuhhh…”
ucapku dan Asty bersamaan.
“Lihat
nih!” Bram langsung mengangkat kertas putih yang sama sekali tidak dijadikan
apa-apa menurutku. Tapi Bram tersenyum sambil mengangkat kertas putih itu setinggi bahunya.
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar