Senin, 16 Februari 2015

My Morning Compass ( 4 )

“Padahal kadang-kadang saya muji dia loh, Bram…”
“Yahhhh…”                                                   
“Kenapa, Len?”
“Si Ellen aja tau kali, Xel!”
“Iyalah… Itu kan salah satu jenis ‘makanan’ untuk ego kalian…”
“???” Axel hanya menggeleng.
“Ga ngerti?????” ucapku dan Bram bersamaan.
Axel hanya menggeleng.
“Serius, Bram?” ucapku cengar-cengir.
Bram hanya tertawa sambil menepuk keningnya.
Tidak hanya perempuan yang punya rahasia, laki-laki pun begitu. Urusan hati ibarat rantai makanan, salah satu urutan ada yang terputus, bisa membuat punah seluruh urutan rantai yang saling membutuhkan. 
 Bram pun selalu hadir bak dewan pakar para jurnalis laki-laki di bidang urusan hati, meski terkadang sarannya ‘menyesatkan’. Tanpa pikir panjang, Bram memberikan saran selalu dengan kalimat-kalimat ambigu  dan bersayap.
Dalam hitungan tiga, Axel pun kali ini sudah menjadi ‘korban’ saran-saran Bram yang terkadang tidak hanya ‘menyesatkan’ tapi juga ‘lempar batu sembunyi tangan’. Karena kalimat-kalimat ambigu dan bersayap itu, beda individu, memahami kalimat Bram dengan makna yang berbeda pula. Bram hanya  tinggal mengelak dan bilang ‘Lah, waktu itu maksud saya tuh begini… Bukan begitu… Jangan asal makanya!!’. Tapi tetap saja, semua kembali curhat ke Bram.
“Santai aja kali,  Xel?”
“Santai gimana?”
“Ya santai… Jangan terlalu dipikirin…”
Axel hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Ngerti tapi, Xel?” tanyaku penasaran.
Axel nyengir dan menggelengkan kepala.
“Oh my…”
Bram tertawa.
“Pasti pada curhaaattttt!!!”
“Asty!”
“Kenapa, Braaam?”
“Tidak perlu berteriak-teriak wahai anak muda…”
“Heheee…  Curhat apa?”
“Perkara… hati… jurnalis muda…” sambar Cahyo begitu muncul di meja bundar setelah Asty.
“Hahaaa…”
“Ckkk ahhh… Si Cahyo menyelesaikan masalah tanpa solusi…” 
“Tapi kan tidak menyesatkan kayak Si Bram!!!” sanggah Cahyo.
“Waduuuhhh…” ucapku dan Asty bersamaan.
“Lihat nih!” Bram langsung mengangkat kertas putih yang sama sekali tidak dijadikan apa-apa menurutku. Tapi Bram tersenyum sambil  mengangkat kertas putih itu setinggi bahunya.

***

-    dee jp -

Tidak ada komentar: