“Kelar
naskahnya?”
“Lumayan…
Kenapa, Bram?”
“Ka-ta
‘lumayan’ itu lagi…”
“Ha-ha!”
“Meja
bundar yuk?”
“Ahhh
dari tadi kek!”.
Tanpa
harus menunggu suara Bram memanggil untuk yang kedua kalinya, aku segera
menyimpan file laporan hasil liputan. Perlu dibaca ulang satu kali lagi nanti, karena
khawatir masih ada kata-kata yang kurang tepat. Bahaya sekali kalau menggunakan
kata yang salah dalam mem-berita-kan sebuah kasus, nanti bisa menimbulkan
hal-hal yang tidak diinginkan berkembang di publik.
Setelah
yakin semua data aman, aku langsung beranjak dari meja kerjaku. Bram pasti
sudah duduk rapih dengan kopi siangnya, ditemani kertas-kertas yang selalu bisa
Bram jadikan bahan cerita.
“Huhhh…”
“Kenapa?”
“Jadi
begini saudara Bramantyo…”
“Hahaaaa…
Pasti pejabat-pejabat korup itu lagi…”
“Apalagi
emang, Bram!”
“Ulah
apa lagi???”
“Biasa
lah… Begitu dapat surat panggilan pemeriksaan terkait kasus korupsi, selalu alasannya ‘sa-kit’!”
“Mulaiiii…”
“Yes!”
jawabku singkat sambil memijit-mijiti keningku sendiri.
Hening
seketika tanpa diperintah, rehat dari layar komputer. Hanya tinggal aku dan
Bramantyo atau Bram, ditemani secangkir kopi siang Bram dan segelas teh hijau
dingin plus susu pesananku. Meja bundar selalu menjadi ‘obat mujarab’ bagi seluruh jurnalis Morning Compass yang
tengah mumet membuat laporan hasil liputan. Atau disebut pula tempat ‘semedi’
para jurnalis, tanpa terkecuali.
Bram
mulai sibuk dengan kertas-kertas putihnya, entah apalagi yang sedang
dipikirkannya agar kertas-kertas itu bisa menjadi bahan yang menarik. Aku tidak
perlu memperhatikan terlalu lama, karena beberapa waktu lagi pasti
kertas-kertas itu sudah menjadi sesuatu.
Memejamkan
mata sejenak sambil mendengarkan suara khas John Legend versus Teza Sumendra,
menjadi pilihan yang tepat untukku kali ini. Hingga akhirnya muncul Axel dan …
“Bram
curhat dong!!!”
***
- dee jp -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar