Jumat, 27 Februari 2015

The Bell’s Palsy ( Part 3 )



“Hari-hari selanjutnya, lidahku akan mulai terasa aneh…”
“Aneh bagaimana?”                             
“Terkadang hanya bisa merasakan rasa asin saja, pedas, asam atau pahit…”
“Sampai seperti itu?”
“Hingga akhirnya tidak bisa merasakan apa-apa…”
“Maksud anda kehilangan fungsi indera pengecap?”
Dia hanya menganggukkan kepala.
“Lalu?”
“Menggunakan alat pembersih lidah hingga akhirnya sendok, aku mencoba untuk mengembalikan fungsi indera perasaku… Tapi tak pernah berhasil… Lidahku malah semakin tidak berfungsi untuk mengecap rasa…”
“Anda pernah mencoba dengan makanan pedas yang paling pedas?”
Dia mengangguk.
“Lalu hasilnya?”
“Tidak berpengaruh apa-apa… Sama saja…”
“Anda bercanda?”
“Tentu saja tidak… “
Aku masih tak percaya.
“Pernah satu waktu, aku akan mencuci mulut…”
“Lalu?”
“Setelah membersihkan bibir, aku memasukan air ke mulut untuk kumur-kumur…”
“Tapi?”
“Tapi lucu…”
“Lucu?”
“Iya… Air tawar, di lidahku menjadi asin…”
Aku hanya menelan ludah mendengarnya.
“Menyenangkan, bukan?”
“Menyenangkan apanya?”
“Kamu tidak perlu membeli garam untuk memasak, Len…”
Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi mendengar pernyataan terakhirnya itu.


***

-    dee jp -

Rabu, 25 Februari 2015

The Bell’s Palsy ( Part 2 )



“Gejala awal ‘kedatangan’ Bell’s Palsy?”
Dia hanya kembali tersenyum.
“Anda tahu?”
“Sangat hafal, bukan hanya tahu…”
“Seperti apa?”
“Berawal dari kepala…”
“Kepala?”
Dia menganggukkan kepala.
“Apa yang anda rasakan dengan kepala anda?”
“Aku akan mengalami sakit kepala yang tak kunjung reda selama dua minggu berturut-turut… Bahkan hingga satu bulan…”
“Meski telah minum obat pereda sakit kepala?”
“Ya…”
“Tidak berpengaruh?”
Dia menggelengkan kepalanya.
“Kemudian?”
“Aku mulai kesulitan berpikir…”
“Berpikir?”
“Iya…  Otakku seperti bertemu gang buntu… “
“Lalu?”
“Lalu diam…”
“Diam?”
“Isi kepalaku seolah hanya diam…  Oksigen, aliran darah, pikiran… “
“Selama Bell’s Palsy datang?” tanyaku ragu.
Dia kembali menganggukkan kepalanya.
“Setelah itu?”
“Sesekali seperti ada silet yang bergelayutan di kepalaku…”
“Maksud anda?”
“Bagian dalam kepalaku seperti disilet-silet tanpa henti… Terutama kepala bagian belakang…”
Aku hanya menghela nafas.
“Di tahun-tahun pertama, aku sering ingin membenturkan kepala untuk membuang rasa sakit seperti disilet-silet itu…”
“Lalu?”
“Tapi sekarang aku sudah bisa menahannya…”
Aku hanya memandang tak percaya.
“Aku sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit kepala seperti disilet-silet seperti itu…”.


***

-    dee jp -

Minggu, 22 Februari 2015

The Bell’s Palsy ( Part 1 )



“Ini sudah tahun ke-15 aku hidup dengan Bell’s Palsy!”
“Tahun ke-15?”
“Ya!”                        
“Maksudnya sudah 15 tahun?”
“Iya… Setengah dari usiaku saat ini, aku telah menjalani hidup dengan Bell’s Palsy. Kini, entah aku yang menjadi parasit bagi Bell’s Palsy yang hidup atau Bell’s Palsy yang menjadi parasit dalam hidupku…”
“Kenapa anda berkata seperti itu?”
Dia hanya tersenyum.
“Mengenai parasit?”
“Karena semuanya tidak semudah seperti apa yang anda lihat…”
“Maksud anda?”
“Selama 15 tahun ini, setiap tahun, sepanjang tahun… Aku selalu diliputi ketakutan yang sama…”
“Ketakutan?”
Dia menganggukkan kepalanya.
“Ketakutan bagaimana?”
“Ketakutan… Rasa takut yang sama dengan pertanyaan yang sama setiap awal tahun, sepanjang tahun hingga akhir tahun…”
“Boleh saya tahu ketakutan seperti apa?”
“Satu kalimat yang aku rasakan sepanjang tahun, dari awal tahun hingga akhir tahun… ‘apakah tahun ini Bell’s Palsy-ku akan datang?’ “
“Datang?”
“Iya… Aku menyebutnya datang, bukan kambuh…”
“Kenapa?”
“Entahlah… Hanya untuk mengurangi ketakutanku saja…”
Aku tersenyum.
“Terlalu menakutkan bagiku kalau harus menyebut ‘berperang’ melawan Bell’s Palsy lalu menggunakan istilah kambuh…”
“Karena itu anda menyebutnya ‘datang’?”
Dia tersenyum dan mengangguk.


***

-    dee jp -

Sabtu, 21 Februari 2015

My Morning Compass ( 8 )



Pesanan makan siang datang, lidah yang tak bertulang sejenak harus berhenti berkata-kata karena beralih tugas sebagai pengecap rasa yang  bekerja sama dengan gigi sebagai penghancur makanan. Akan hening, tak ada mulut yang bersuara saat perut yang kosong akan mulai diisi dengan menu pesanan masing-masing.
Beda tempat, beda pesanan, beda warna plastik. Ob kantor selalu berjasa menyelamatkan perut-perut yang kelaparan di siang hari. ‘Nikmati makan siangmu, sebelum pekerjaan kembali memakanmu’. Moto yang harus dicerna sesuai konteks keadaan, karena tidak bisa dipahami begitu saja secara asal. Itu berlaku untuk pewarta berita seperti kami, karena harus menjalani kehidupan tanpa jeda. Apalagi, kalau bukan dunia tanpa koma.
“Ellen, dipanggil Pimred tuh!”
“Ada apa?”
“Pimred tabloid earth pengen ketemu katanya…”
“Waduuhhh!!!”
“Kenapa, Len?”
“Aku masih punya hutang naskah seri nih…”
“Hahaaa… ‘Penyakit’ tuh, Len!”
“Iya banget!!!”
“Fiksi seri?”
“Iya fiksi… Dari sebelum ke Kota Tua…”
“Sibuk pindahan?”
“Kelupaan…”
“Hahaaa…”
“Ya minta maaf aja kali sama Pimrednya, Len!”
“Terus semuanya selesai hanya dengan minta maaf???”
“Hahaaaa… “
“Emang?”
“Yahhh….”
“Axeeeeelll……”.


***

-    dee jp -