Jumat, 02 Desember 2016
Kamis, 15 September 2016
Morning Breezing – 2
“Aku takut
akan pertemuan!”
“???”
Aku hanya
tersenyum.
“???”
Aku hanya
tetap tersenyum.
“Dengan adanya
pertemuan...”
Aku tak berani
melanjutkan kalimatnya, hanya bisa tersenyum sambil menelan ludah.
“Kamu takut
bertemu dengan perpisahan?”
Aku hanya
tetap tersenyum.
Dia hanya
tersenyum kali ini sambil membuang nafas “Setiap awal...”
“Pasti
memiliki akhir!” jawabku sambil kembali tersenyum.
Dia pun hanya menjawabnya
dengan senyuman.
Aku langsung melipat novel yang sedang kupegang begitu
terdengar suara pintu kamarku diketuk sekaligus dalam dua kali ketukan diikuti
kata sapaan hormat. Menirukan dialog dari teks tulisan di novel, cerpen atau
dialog drama visual, terkadang membuat lupa diri dan lupa waktu.
“Ya?”
Seorang pria setengah baya tersenyum dengan nampan di
tangan kanannya.
“Ah iyaa!”
“Sandwich, telur gulung, sosis bakar, salad letuce dan
buah potong?”
“Ya!”
“Adalagi?”
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Ini billnya... Dibayar langsung atau...?”
“Disatukan saja ke dalam tagihan di akhir bulan!”
“Iya... Tanda
tangan di sebelah sini?!”
“Oke!”
“Terima kasih!”
“Ya... Terima kasih!”.
Senin, 29 Agustus 2016
Morning Breezing – 1
First morning breezing in town with hot chocolate. I
started first morning in kota tua with muffin and coffee, then i Found Him
without kemeja kotak-kotak dan celana jeans.
In Japan, they said if Hokkaido is kasa o mottanai
dekakeru hibi machi.
Dengan suhu dan iklim yang cukup lumayan berbeda, but it
feels like in Hokkaido. Coat, umbrella, jacket, rainy boots or rainy shoes,
dark outfit and sedikit cipratan air dari setiap mobil yang melintas saat
sedang berjalan as a pedestrian.
Sulit untuk bisa berkeliling atau menyambangi banyak
tempat dalam cuaca yang masih belum menentu, terkadang tengah hari terik bisa
berubah menjadi hujan lebat tanpa ada aba-aba sebelumnya. Seolah seperti
seorang pemimpin barisan prajurit perang yang sedang melatih prajurit yang
berada dalam pasukan barisannya untuk mengenal kata Fokus.
Kamis, 11 Agustus 2016
Kota Batik – 4
Silence : Keyword, Message, A Word, Part of Life, Unemptyness, Part of
Verb?, Air and Fresh air, No Sound? Noone...
Seperti suara mesin tik yang terdengar di tengah keheningan malam. Tak ada
sahutan, bak pembicara tanpa perlu respon dan sahutan.
Aku masih duduk bersama dengan penumpang lainnya, meski telah melintasi
perbatasan sebagai penanda masuk kota ini tapi bagiku sampai ¼ bagiannya pun
belum. Setiap individu aku rasa tahu dan bisa merasakan berada dalam situasi
“Terasa sangat jauh, karena belum terbiasa!”.
Seolah seperti masih meraba sambil mengingat letak setiap
tempat, hingga akhirnya semua menjadi tak lagi terasa lama. Dengan kata lain
“Sudah terbiasa, sehingga terasa dekat!”.
Titik hujan perlahan berhasil menyapu debu dari balik kaca,
tangan kananku melap tanpa tenaga sedikit bagian kaca yang mulai berembun
dengan menggunakan sehelai tisu yang kuambil dari saku celana agar aku tetap
bisa memandang apa saja yang akan menjadi bagian dari keseharianku mulai saat
ini hingga waktu yang ... ... ... aku masih belum tahu berapa lama. Apakah akan
seperti selama saat aku menghuni flat 345 bersama Nek Sumi dan yang lainnya?
Itu semua bergantung dengan penempatan pimpinan perusahaan tempatku bekerja.
Morning Compass, sudah tak lagi menjadi bagian dari bahan
liputanku.
Morning Compass di tempat ini berganti menjadi Daily
Compass, dengan keseluruhan rekan kerja yang tak lagi sama.
Silence – Hening – Pekerja – Bekerja – Diam dan Malam,
hingga awal kehidupan dimulai kembali meski tanpa sapaan pagi dari Nek Sumi.
Namun, roti selai kacang akan selalu menemaniku.
Rabu, 20 Januari 2016
Kota Batik - 3
Tapi
itu semua hanya dongeng, bagian dari cerita yang selalu berakhir bahagia.
Karena kehidupan nyata tidak lah di sana, meski menuliskannya merupakan bagian
dari kehidupan nyata. Hanya saja terkadang, ada realita yang bak dongeng dan
ada dongeng yang benar-benar diadaptasi dari realita atau kehidupan nyata. Pada
bagian akhir cerita walau sebetulnya nyata, menggunakan kata ‘alangkah baiknya’
ditulis saja dengan kalimat penutup “Kisah ini hanya fiktif belaka, apabila
terdapat kesamaan nama, tokoh dan perisitiwa, hanya kebetulan semata!”.
“Maling
teriak maling!” kalimat yang selalu terngiang dan seolah tak ada ujungnya.
Namun, seulas senyum bisa tersungging ketika bisa melempar kalimat ‘strike’
pada seorang sahabat “Kayak gimana rasanya emang pas diteriakin maling?”. Tidak
berupa kalimat yang menjadi jawabannya, tapi gelak tawa dan jari telunjuk yang
mengacung tepat di wajah atau dengan kata lain “Bisa saja…!”.
Langganan:
Postingan (Atom)