Kamis, 15 September 2016

Morning Breezing – 2



“Aku takut akan pertemuan!”
“???”
Aku hanya tersenyum.
“???”
Aku hanya tetap tersenyum.
“Dengan adanya pertemuan...”
Aku tak berani melanjutkan kalimatnya, hanya bisa tersenyum sambil menelan ludah.
“Kamu takut bertemu dengan perpisahan?”
Aku hanya tetap tersenyum.
Dia hanya tersenyum kali ini sambil membuang nafas “Setiap awal...”
“Pasti memiliki akhir!” jawabku sambil kembali tersenyum.
Dia pun hanya menjawabnya dengan senyuman.

Aku langsung melipat novel yang sedang kupegang begitu terdengar suara pintu kamarku diketuk sekaligus dalam dua kali ketukan diikuti kata sapaan hormat. Menirukan dialog dari teks tulisan di novel, cerpen atau dialog drama visual, terkadang membuat lupa diri dan lupa waktu.
“Ya?”
Seorang pria setengah baya tersenyum dengan nampan di tangan kanannya.
“Ah iyaa!”
“Sandwich, telur gulung, sosis bakar, salad letuce dan buah potong?”
“Ya!”
“Adalagi?”
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Ini billnya... Dibayar langsung atau...?”
“Disatukan saja ke dalam tagihan di akhir bulan!”
“Iya...  Tanda tangan di sebelah sini?!”
“Oke!”
“Terima kasih!”
“Ya... Terima kasih!”. 


Senin, 29 Agustus 2016

Morning Breezing – 1



First morning breezing in town with hot chocolate. I started first morning in kota tua with muffin and coffee, then i Found Him without kemeja kotak-kotak dan celana jeans.
In Japan, they said if Hokkaido is kasa o mottanai dekakeru hibi machi.
Dengan suhu dan iklim yang cukup lumayan berbeda, but it feels like in Hokkaido. Coat, umbrella, jacket, rainy boots or rainy shoes, dark outfit and sedikit cipratan air dari setiap mobil yang melintas saat sedang berjalan as a pedestrian.
Sulit untuk bisa berkeliling atau menyambangi banyak tempat dalam cuaca yang masih belum menentu, terkadang tengah hari terik bisa berubah menjadi hujan lebat tanpa ada aba-aba sebelumnya. Seolah seperti seorang pemimpin barisan prajurit perang yang sedang melatih prajurit yang berada dalam pasukan barisannya untuk mengenal kata Fokus.  


Kamis, 11 Agustus 2016

Kota Batik – 4



 Silence : Keyword, Message, A Word, Part of Life, Unemptyness, Part of Verb?, Air and Fresh air, No Sound? Noone...
Seperti suara mesin tik yang terdengar di tengah keheningan malam. Tak ada sahutan, bak pembicara tanpa perlu respon dan sahutan.

Aku masih duduk bersama dengan  penumpang lainnya, meski telah melintasi perbatasan sebagai penanda masuk kota ini tapi bagiku sampai ¼ bagiannya pun belum. Setiap individu aku rasa tahu dan bisa merasakan berada dalam situasi “Terasa sangat jauh, karena belum terbiasa!”.
Seolah seperti masih meraba sambil mengingat letak setiap tempat, hingga akhirnya semua menjadi tak lagi terasa lama. Dengan kata lain “Sudah terbiasa, sehingga terasa dekat!”.
Titik hujan perlahan berhasil menyapu debu dari balik kaca, tangan kananku melap tanpa tenaga sedikit bagian kaca yang mulai berembun dengan menggunakan sehelai tisu yang kuambil dari saku celana agar aku tetap bisa memandang apa saja yang akan menjadi bagian dari keseharianku mulai saat ini hingga waktu yang ... ... ... aku masih belum tahu berapa lama. Apakah akan seperti selama saat aku menghuni flat 345 bersama Nek Sumi dan yang lainnya? Itu semua bergantung dengan penempatan pimpinan perusahaan tempatku bekerja.
Morning Compass, sudah tak lagi menjadi bagian dari bahan liputanku.
Morning Compass di tempat ini berganti menjadi Daily Compass, dengan keseluruhan rekan kerja yang tak lagi sama.
Silence – Hening – Pekerja – Bekerja – Diam dan Malam, hingga awal kehidupan dimulai kembali meski tanpa sapaan pagi dari Nek Sumi. Namun, roti selai kacang akan selalu menemaniku.
 

Rabu, 20 Januari 2016

Kota Batik - 3



Tapi itu semua hanya dongeng, bagian dari cerita yang selalu berakhir bahagia. Karena kehidupan nyata tidak lah di sana, meski menuliskannya merupakan bagian dari kehidupan nyata. Hanya saja terkadang, ada realita yang bak dongeng dan ada dongeng yang benar-benar diadaptasi dari realita atau kehidupan nyata. Pada bagian akhir cerita walau sebetulnya nyata, menggunakan kata ‘alangkah baiknya’ ditulis saja dengan kalimat penutup “Kisah ini hanya fiktif belaka, apabila terdapat kesamaan nama, tokoh dan perisitiwa, hanya kebetulan semata!”.
“Maling teriak maling!” kalimat yang selalu terngiang dan seolah tak ada ujungnya. Namun, seulas senyum bisa tersungging ketika bisa melempar kalimat ‘strike’ pada seorang sahabat “Kayak gimana rasanya emang pas diteriakin maling?”. Tidak berupa kalimat yang menjadi jawabannya, tapi gelak tawa dan jari telunjuk yang mengacung tepat di wajah atau dengan kata lain “Bisa saja…!”.