Absurd-isme
Indonesia
Indonesia, sebuah Negara di asia
tenggara dengan jumlah penduduk lebih dari dua ratus juta jiwa. Wilayah yang
membentang dari sabang sampai merauke, dari titik nol kilometer di wilayah aceh
sampai ke titik kilometer akhir di wilayah irian. Negara yang sebagian besar
wilayahnya terdiri dari lautan, menyimpan timbunan harta karun berupa kekayaan
alam di dalamnya. Dan dibalik kekayaan alam itu, banyak hal yang absurd muncul
dari hari ke hari. Entah siapa yang salah, system yang salahkah? Alam?
Pemerintah? Masa lalu? leluhur?
Atau memang sudah seharusnya semua seperti itu?
---
Memasuki
milenium baru, indonesia siap tidak siap harus ikut serta dalam persaingan
global yang di dalamnya melibatkan pula negara-negara maju. Sebagai negara dengan
predikat negara berkembang, tentulah sulit dikatakan sebagai lawan yang sepadan
sepertinya untuk bersaing dengan Negara-negara maju seperti amerika, jepang,
jerman, china atau rusia. Tetapi niat dan usaha untuk ikut bersaing itu jauh
lebih baik dibanding menjadi negara minder yang berikap pasif terhadap keadaan.
Ibarat dalam pertandingan sepak bola yang dewasa ini sedang hangat-hanganya
menjadi buah bibir di seantero negeri, kekalahan melawan malaysia di final
piala AFF menjadi salah satu penyebab digantinya Alfred Riedl dari kursi
pelatih meskipun banyak orang mendukung Riedl untuk tetap menduduki kursi
pelatih.
Kemudian
muncul pelatih baru, yang dibilang memiliki kualitas atau kemampuan tidak kalah
dari Riedl. Tetapi pergantian pelatih masih belum mampu membawa indonesia ke
puncak kejayaan, banyak orang semakin kecewa dengan performa Timnas terutama
kekecewaan dengan konsep pelatih baru tersebut sehingga muncul jargon bahwa
‘meskipun Riedl belum mampu membawa Timnas ke puncak klasemen, tapi setidaknya kami
ingin melihat pemain tetap berlari di lapangan!’.
Jadi,
kaitan antara persaingan indonesia dalam mengikuti ajang pasar global dengan
pertandingan bola adalah bahwa meskipun indonesia belum memiliki kapasitas yang
sepadan sebagai negara-negara maju di persaingan global tapi setidaknya
indonesia mau berlari di ajang persaingan pasar global. Tetapi absurd-isme
muncul, kentara terlihat setidaknya antara kebijakan pemerintah dan beberapa
pengusaha dalam negeri. Ketika salah satu mantan petinggi negeri ini sekuat
tenaga menggalakkan himbauan agar masyarakat berwira usaha dengan meningkatkan
produksi dalam negeri, mencintai produk dalam negeri, pemerintah justru malah
melakukan kebijakan yang kontradiktif dengan himbauan itu. Perusahaan-perusahaan
asing semakin mudah tertanam di indonesia, penanaman modal asing, begitu pula
dengan barang-barang import yang tentu saja memiliki predikat high class
dibanding branded dalam negeri.
Pasar dalam negeri yang mulai
menggeliat pun bisa dengan mudah terlindas produk import, yang meskipun
harganya selangit masih tetap akan menjadi buruan kelompok-kelompok tertentu
demi sekedar mengejar gengsi.
Absurd-isme yang muncul kentara
adalah di dunia pendidikan. Wilayah ibukota dengan segala ketersediaannya
memudahkan para peserta didik mencapai nilai tinggi. Tempat les, peralatan
elektronik yang semakin canggih, laboratorium untuk mempermudah penelitian,
transportasi mulai dari roda dua, tiga dan empat, dan masih banyak lagi.
Sehingga nilai tinggi yang dijadikan sebagai tolak ukur kelulusan pun
setidaknya bisa mereka capai lebih mudah (seharusnya) karena adanya fasilitas
yang mendukung. Sedangkan di wilayah yang nun jauh dari ibukota, jangankan
fasilitas-fasilitas itu, belajar sehari-hari pun masih diliputi rasa was-was
kalau-kalau atap kelas akan ambruk ketika hujan turun atau angin kencang
sekalipun.
System nilai boleh dibilang belum
begitu tepat sepertinya untuk diterapkan di Negara ini apabila melihat belum
meratanya fasilitas pendukung, baik segi materi seperti itu maupun dari segi
pendidiknya sendiri. Namun, bukankah Tuhan mengatakan bahwa Dia tidak akan merubah
nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang merubahnya. Artinya, bukan hal yang
tidak mungkin wilayah yang nun jauh dari ibukota dengan segara keterbatasan
fasilitas itu, satu hari akan melahirkan peserta didik yang memiliki kualitas
jempolan.
---
Dewasa
ini pemerintah masih sedang terus mencanangkan ajakan kepada warganya agar lebih memilih untuk menggunakan kendaraan
umum dibanding kendaraan pribadi, alasannya agar mengurangi kemacetan khususnya
di wilayah ibukota. Banyak program pun kemudian lahir dari era ke era, baik
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Harga bahan bakar dinaikkan
dan untuk bahan bakar tertentu hanya diperuntukkan bagi kendaraan umum, sehingga
kendaraan pribadi dihimbau menggunakan bahan bakar jenis lain yang lebih mahal.
Selain itu, dicanangkanlah pembangunan proyek busway, monorail (meski dicancel
pembangunannya) dan perbaikan system kereta rel listrik (KRL). Kedua alat
transportasi berkapasitas besar itu tentu saja tidak bisa menjangkau seluruh
wilayah, maka angutan kota, bus kota, ojek atau becak mutlak seharusnya memang
masih tetap dibutuhkan.
Akhirnya
warga pun mulai beralih untuk menggunakan kendaraan umum yang bisa dikatakan
memiliki predikat bersistem modern yang mendukung untuk membentuk Jakarta
sebagai kota metropolitan, tetapi di lain pihak, maraknya kasus criminal di
dalam transportasi umum membuat masyarakat semakin resah. Ada yang salah dengan
system kah? Dengan kebijakannya kah? Atau memang tingkat kriminalitas memang
akan meningkat seiring menurunnya kemampuan ekonomi?
Sayangnya
razia yang dilakukan terlihat seperti ogah-ogahan serius, ketika ada perkara
saja baru ada tindakan. Tidak ada jaminan pasti mengenai keamanan berendaraan
umum jadinya, untuk mereka yang memiliki kendaraan pribadi dan mampu, bisa
dengan mudah kembali ke kendaraan pribadi, sedangkan untuk kami yang tidak
mampu? Tidak ada pilihan lain. Absurd memang, dimana pemerintah menghimbau
untuk berkendaraan umum untuk menghindari macet dan polusi disitu pula
pemerintah atau sebut saja pemerintah dan aparat(ur) negera belum mampu
memberikan kenyamanan dari segi keamanan.
Merubah
predikat Indonesia menjadi Negara modern, banyak image real yang dirubah.
Pembangunan mall-mall, pendirian apartemen-apartemen mewah, pembangunan kawasan
perumahan elite, pembangunan proyek transportasi yang lebih modern sehingga
banyak kaum dengan kelas ekonomi kurang memadai semakin terpinggirkan. Sebuah
foto absurd muncul karena di sebelah mall atau apartemen mewah terdapat
himpitan rumah-rumah kumuh di pinggir sungai. Rumah berukuran super mini yang
mungkin hampir tidak menyerupai rumah sebetulnya, dihuni secara
berdesak-desakan. Tempat tinggal yang rawan banjir, rawan tergerus arus sungai,
rawan penyakit dan rawan kebakaran juga banyak tingkat kerawanan lainnya
merupakan tempat berteduh secara turun temurun.
Absurd
memang, dengan pembangunan untuk menciptakan image metropolitan, banyak kaum/
kelompok atau golongan yang terpinggirkan begitu saja. Kenapa tidak membiarkan
Indonesia atau Jakarta khususnya tetap menjadi jakartanya Indonesia, dengan
becaknya dengan bajainya dengan segala ciri khas lainnya seperti tulisan di
kaki burung garuda? Bhineka tunggal ika, memunculkan Indonesia di mata dunia
dengan segala ke-indonesia-annya, tanpa perlu merubah jakartanya Indonesia
menjadi tokyonya jepang, menjadi kuala lumpurnya Malaysia. Tapi mungkin memang
sudah seharusnya begitu.
Munculnya jejaring social mampu
menjadi salah satu alat yang membuktikan kalau Indonesia masih memiliki jiwa
solidaritas yang baik. Ketika ada masalah maka muncul suara-suara untuk
mendukung agar masalah bisa cepat tuntas dan pihak yang dirasa merupakan pihak
yang terzalimi pun bisa memenangkan perkara. Selain itu, komnas-komnas mulai
lahir di Indonesia berdiri dengan kantor-kantor perwakilannya dan
aktivis-aktivisnya. Memperjuangkan hak azasi manusia, hak anak dan perempuan
untuk mendapat perlindungan dan hak untuk hidup. Namun, kasus yang muncul di
wilayah Mesuji belakangan ini menjadi hal yang kontradiktif sekali. Dimana
sekelompok orang memperjuangan soal hak azasi manusia, salah satu diantara hak
azasi yang paling azasi adalah hak untuk hidup, tetapi di lain pihak sekelompok
orang (tidak hanya di Mesuji) seolah-olah membuat nyawa orang itu tidak ada
harganya.
---
Indonesia
masih kaya dengan hutannya, kaya dengan flora dan fauna yang apabila
mendapatkan perhatian benar-benar serius, masih bisa menjadi warisan berharga
bagi anak cucu satu hari nanti.
Save
orang utan!
Munculnya
pemberitaan mengenai pembantaian orang utan secara biadab, menimbulkan kecaman
keras dari para pemerhati hewan. Kemudian kasus pun bergulir dan mulai diusut,
dimana-mana di jalan-jalan banyak selebaran yang dibagi-bagikan untuk mendukung
gerakan save orang utan. Tetapi seiring kasus bergulir, ada hal yang kontras
terasa dari solidaritas untuk save orang utan ini karena ketika jumlah orang
utan berkurang di lain pihak jumlah orang miskin bertambah. Dikatakan hal yang
dilematis? Tidak juga karena tidak perlu ada yang dikorbankan (semetinya). Tapi
ketika mengacu pada pertanyaan, mana yang harus didahulukan? Menjadi situasi yang dilematis.
Masih
banyak lagi hal-hal absurd yang muncul dari hari ke hari, tidak akan cukup
waktu untuk membahasnya apabila tidak dijeda di tengah jalan. Hal-hal yang
sifatnya saling kontradiktif, saling bertolak belakang satu sama lain.
Mengutip
dari puisi karangan Rosihan Anwar dalam Petite
Histoire Indonesia bahwa ‘Aku tidak malu jadi orang indonesia’. Apapun yang
terjadi!
Dan
semua itu terangkum dalam absurd-isme Indonesia.
Dea Jiwapradja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar