Selasa, 17 Januari 2012

Nangorku, kampusku

Bukan Perjalanan Biasa

Sebuah jarak tempuh perjalanan yang rata-rata memakan waktu sekitar 90 menit dengan menggunakan alat antar identik berkapasitas besar, perjalanan yang mampu mencetak sebuah memori yang tak terlupakan sepanjang hidup.
---
            Sering terdengar candaan ringan dengan penuh tawa yang dilontarkan sesama rekan mahasiswa dari universitas lain bahwa itulah satu tempat tujuan yang letaknya jauh di luar kota atau dengan kata lain mereka menyebutnya ‘kuliah di kampung’. Untuk menanggapi hal semacam itu kalau hanya dengan kata-kata saja disertai urat penuh kesal rasanya tidak akan membuktikan apa-apa selain hanya untuk kepuasan rasa tak ingin kalah beradu argumen atau hanya untuk sekedar mengejar gengsi. Karena walau bagaimanapun candaan tetaplah candaan, menanggapinya dengan memberikan argumen-argumen serius pun justru malah akan memberi kesan yang tidak mengenakkan tetapi ibarat main bola cukuplah mengimbanginya dengan skor 1-1.
            Meskipun demikian, ini hanyalah sebuah candaan diantara kami. Candaan ringan sore hari di teras rumah kos saja. Seperti kalimat sebuah produk minuman “apapun ledekkannya, alat antar identik dengan kapasitas besar itu pun akan tetap mengantarkan sampai ke tempat tujuan.”  :)
            ---
            Berdesakkan di dalam sebuah alat antar identik dengan kapasitas besar ini, sudah menjadi makanan kami sehari-hari, mulai dari berdiri hingga tempat tujuan, duduk di samping pak sopir, duduk di dekat pintu dengan alas duduk tambahan atau pada saat-saat tertentu kursi yang semestinya untuk berdua harus dibagi tiga. Kendaraan ber-ac pun kadang-kadang rasanya sama dengan yang ekonomi non ac, panas.
            Namun tak gentar untuk kami lalui. Macet pun sudah menjadi teman kami, jalur gedung sate-supratman-achmadyani-laswi dan seterusnya ibarat kata seperti lorong dalam rumah yang sudah kami hafal. Begitu pun dengan wajah-wajah pak sopir dan kondektur yang sudah terasa tidak asing, wajah-wajah yang meskipun lelah hingga sore menjelang tetap saja menebar senyum ketika kami naik. Pengamen dan pedagang asongan pun ada beberapa diantaranya yang sudah memiliki tempat pasti hingga kami hafal kalau berhenti di satu tempat pemberhentian maka dialah yang akan muncul.
            Selama 90 menit untuk waktu normal perjalanan, akan menunjukkan nasib yang berbeda. Terkecuali di siang hari ketika arus hilir mudik sepi, maka jarang terlihat pemandangan kami bergelantungan karena semua mendapat nasib baik duduk di kursi. Tetapi pada arus padat hilir mudik yaitu pagi dan sore, maka keahlian menentukan posisi seperti saat ujian kami sering mengatakan ‘posisi menentukan prestasi’ dan begitu pula dengan sejauh mana keahlian kami agar bisa mendapatkan tempat duduk berlomba dengan yang lain dan  waktu 90 menit akan menjadi dua kali lipat pada jam macet terparah di sore hari karena kami bisa terjebak hingga 3jam di dalamnya tanpa bisa alat antar ini bergerak sedikit pun. Berdesakkan di dalamnya hingga malam menjelang kami belum bisa sampai rumah.
            Waktu yang sama yang kami gunakan untuk perjalanan setiap hari rata-rata akan selalu sama, begitu pula dengan jalur yang akan kami lalui. Tetapi walaupun tempat-tempat yang sama yang akan kami lalui, tidak pernah muncul rasa bosan sepanjang perjalanan. Hari berganti hari, ada saja suasana yang berbeda yang timbul. Satu hari 24 jam, satu minggu 7 hari merupakan rentang waktu yang sama tapi hal yang akan mengisinya itulah yang akan membuat berbeda seperti perjalanan kami selama 90 menit ini.
            Bukan rekreasi yang menjadi tujuan kami dalam menempuh perjalanan selama 90 menit ini, tapi setetes ilmu yang akan kami minta dari guru-guru kami dari hari ke hari. Proses yang akan kami jalani, bukan hanya mementingkan hasil karena sebuah senyuman yang menanti kami setiap pagi untuk mencetak kami menjadi sarjana-sarjana, yang tentu saja sepenuhnya dengan harapan menjadi sarjana yang memiliki tingkat kesantunan yang berkualitas yang membuat almamater ini tersenyum. Itulah senyum guru-guru kami, yang meskipun di satu pagi kami sudah habis-habisan merayunya bahwa itulah senyuman terindah sepanjang hidup kami tapi soal quiz tetap saja dibagikan. :D
Pemandangan yang tidak asing lagi ketika pada pagi hari kami berlarian menuju kelas (baca: kesiangan), meskipun tetap ada yang mengizinkan untuk masuk kelas setelah terlambat tapi ada juga yang hanya mengizinkan masuk kelas tanpa boleh mengisi absen, mengizinkan kami menutup pintu dari luar, atau mengizinkan masuk berdasarkan perjanjian lima belas menit. Tapi tetap itu menjadi kenangan yang tak terlupakan sepanjang hidup kami.      
Angkot gratis, jajanan di gerbang, dan ospek yang memaksa kami untuk berjalan dengan jarak yang tidak dekat setiap pagi di awal kuliah.
Semuanya terangkum, tercatat dengan rapi dalam memori kami dan tak terlupakan sepanjang hidup. Mereka yang ‘kuliah di kota’ tidak akan pernah memiliki kenangan seperti ini, tidak akan pernah tahu terjebak macet selama 3jam, tidak tahu bergelantungan sampai tujuan dan tidak tahu angkot gratis. :P
 Bukan Perjalanan Biasa, perjalanan kami adalah sebuah proses menuju tempat kami bernaung, sebuah proses yang akan mendidik kami menjadi manusia berilmu. 

2 komentar:

tutu mengatakan...

setiap orang memang punya perjalanan hidup yang berbeda begitupun dengan prosesnya, namun pada akhirnya tiba juga di tujuan yang sama. yaitu sama-sama menemukan jati diri yang telah ditempa berbagai hal. perjalanan, pengalaman, dan hikmah akan membawa kita menjadi lebih dewasa dalam mengisi perjalanan selanjutnya setelah menemukan jati diri.
maka berikutnya akan ada memori-memori lain yang terangkum menjadi sebuah kenangan .... :)

dea jiwapradja mengatakan...

gimana bi tulisannya? masih nampak sangat amatir ya? hehehehe...
skr lg ngerjain draft tulisan jg, br nyampe bab 3, tar kalo udah kelar, tak kirim lewat email dehhh.. buat dikomentarin..