Rabu, 07 Maret 2012


Damri dan kondektur
-Sekelumit cerita di pagi hari-

Dia tersenyum ramah saat seorang wanita naik, lalu dia kembali menancap kembali gas untuk melaju tepat setelah wanita yang naik tadi dipastikan telah duduk. Selang beberapa menit setelah melaju sekian meter dengan kecepatan normal, temannya yang sejak tadi hanya berdiri di belakang kemudian memberi isyarat agar dia menginjak rem dan menepi. Dia menurut saja lalu menepi dengan hati-hati setelah memastikan semuanya aman. Beberapa anak berseragam sma pun naik, sambil melambaikan tangan dan senyum riang menyambut pagi ketiga anak itu pun menyapanya. Lalu, sama seperti sebelumnya, setelah memastikan ketiga anak sma tadi aman, barulah dia melaju kembali menginjak gasnya.
            Sinar mentari pagi menembus kaca, membuat silau tapi sinarnya menghangatkan udara yang dingin setelah semalaman hujan mengguyur seluruh kota. Meskipun ada beberapa yang menutup kaca dengan gordyn untuk menghalau sinar yang masuk, tapi aku tidak karena aku ingin kulitku yang kedinginan bisa bersentuhan dan merasakan hangatnya sinar mentari pagi. Mereka yang menutup gordyn pun kini mulai nampak terlelap Pemandangan ini bukanlah pemandangan yang asing lagi bagiku. Meskipun setiap hari kulalui, tapi aku selalu merasa ada yang berbeda setiap pagi.
            Seorang bapak, ahh seorang kakek lebih tepatnya, seorang kakek yang masih tampak segar bugar dengan pakaiannya yang rapih dan rambutnya yang sudah dipenuhi uban, terlihat sedang asyik membaca surat kabar pagi. Matanya terus berjalan menari mengikuti tulisan-tulisan yang tercetak di surat kabar pagi yang membutuhkan kedua tangannya untuk menahan karena harian ibukota ini memiliki ukuran kertas yang lebih lebar dibanding surat kabar harian lainnya. Kening si kakek mengerut dan matanya semakin ditajamkan setelah membuka halaman berikutnya. Kepalanya sedikit menggeleng dan mulutnya terlihat berdecak, si kakek sepertinya merasa tidak habis pikir dengan berita tersebut. Meskipun aku tidak tahu apa yang dibacanya, aku hanya membaca ekspresi saja.
            Kemudian si kakek mengambil kantung di sampingnya ketika seorang ibu menghampirinya sambil tersenyum, mereka pun duduk berdampingan. Si kakek hanya berusaha berbasa-basi sebentar, tapi kemudian si kakek kembali fokus dengan surat kabarnya. Si ibu yang baru duduk pun hanya memandang kosong, berusaha agar si kakek yang duduk di sebelahnya tidak merasa terganggu.
              Aku tidak ingin berbicara dengan siapapun, rasanya enggan berbincang-bincang atau basa-basi apalagi sampai bergosip. Nggak mood kalau kata ponakan-ponakanku yang masih smp. Aku hanya menikmati pemandangan di luar saja, mengintip dari kaca-kaca lebar yang terpasang sampai sekitar sepuluh senti di bawah bahuku. Seorang laki-laki yang boleh dibilang ganteng lah, duduk di sebelahku. Aku hanya tersenyum untuk basa-basi, kemudian aku kembali dengan diriku sambil mendengarkan musik dari ponselku.
            Dia, ya dia tetap konsentrasi. Konsentrasi dengan dirinya dan konsentrasi pada suara temannya yang masih terus dan memang selalu berdiri di belakang. Lalu terdengar suara ‘ting-ting-ting’, dia pun menginjak rem perlahan-lahan dan berusaha menepi. Dia membukakan pintu, kemudian temannya melongokkan kepalanya dan melambaikan tangan. Dia sabar menunggu perintah temannya untuk kembali menginjak gas.
            Seorang perempuan, yaahhh sepertinya sebaya denganku muncul dari belakang dengan nafas tersengal-sengal setelah berlari-lari kecil agar dia tidak terlalu lama menunggu. Tapi aku yakin, meskipun perempuan itu berjalan dan agak lambat, dia dan temannya akan sabar menunggu dan tetap tersenyum. Dia dan temannya adalah orang yang baik, mereka tidak akan mencampur adukkan masalah keluarga, masalah pribadi karena mereka akan selalu tersenyum menyapa semua orang yang baru naik.
            Ada banyak cerita di dalamnya. Beberapa orang terlihat sibuk dengan text book di tangannya, bola matanya sibuk mondar-mandir meraba cetakan tulisan kemudian mereka menengadah dan komat-kamit. Aku sempat merasa geli, itulah cara mereka menghafal tapi imajinasiku berkata lain. Aku membayangkan mereka sedang menghafal mantra, seperti mbah dukun yang sedang komat-kamit saja. Aku tersenyum geli, karena aku pun sering melakukan itu.
            Dia, ya di dan temannya pun kembali melaju. Dengan penuh senyum, berhati-hati perlahan-lahan takut kalau ada yang tak terlihat.
            Mereka berdua lah orang yang menurutku, mereka adalah orang yang setiap hari bekerja untuk mengantarkan para calon pemimpin bangsa. Meski hujan, meski terik, toh mereka tetap tidak berhenti bekerja, dengan senyum mengantar jemput kami.
            Mereka lah sopir dan kernet damri.
            Setiap pagi berangkat dari dipati ukur menuju jatinangor. Terus hingga malam menjelang.

Tidak ada komentar: