Damri
dan kondektur
-Sekelumit
cerita di pagi hari-
Dia tersenyum ramah saat seorang wanita
naik, lalu dia kembali menancap kembali gas untuk melaju tepat setelah wanita
yang naik tadi dipastikan telah duduk. Selang beberapa menit setelah melaju
sekian meter dengan kecepatan normal, temannya yang sejak tadi hanya berdiri di
belakang kemudian memberi isyarat agar dia menginjak rem dan menepi. Dia
menurut saja lalu menepi dengan hati-hati setelah memastikan semuanya aman.
Beberapa anak berseragam sma pun naik, sambil melambaikan tangan dan senyum
riang menyambut pagi ketiga anak itu pun menyapanya. Lalu, sama seperti
sebelumnya, setelah memastikan ketiga anak sma tadi aman, barulah dia melaju
kembali menginjak gasnya.
Sinar
mentari pagi menembus kaca, membuat silau tapi sinarnya menghangatkan udara
yang dingin setelah semalaman hujan mengguyur seluruh kota. Meskipun ada beberapa yang menutup kaca
dengan gordyn untuk menghalau sinar yang masuk, tapi aku tidak karena aku ingin
kulitku yang kedinginan bisa bersentuhan dan merasakan hangatnya sinar mentari
pagi. Mereka yang menutup gordyn pun kini mulai nampak terlelap Pemandangan ini
bukanlah pemandangan yang asing lagi bagiku. Meskipun setiap hari kulalui, tapi
aku selalu merasa ada yang berbeda setiap pagi.
Seorang
bapak, ahh seorang kakek lebih tepatnya, seorang kakek yang masih tampak segar
bugar dengan pakaiannya yang rapih dan rambutnya yang sudah dipenuhi uban,
terlihat sedang asyik membaca surat
kabar pagi. Matanya terus berjalan menari mengikuti tulisan-tulisan yang
tercetak di surat kabar pagi yang membutuhkan
kedua tangannya untuk menahan karena harian ibukota ini memiliki ukuran kertas
yang lebih lebar dibanding surat
kabar harian lainnya. Kening si kakek mengerut dan matanya semakin ditajamkan
setelah membuka halaman berikutnya. Kepalanya sedikit menggeleng dan mulutnya
terlihat berdecak, si kakek sepertinya merasa tidak habis pikir dengan berita
tersebut. Meskipun aku tidak tahu apa yang dibacanya, aku hanya membaca
ekspresi saja.
Kemudian si
kakek mengambil kantung di sampingnya ketika seorang ibu menghampirinya sambil
tersenyum, mereka pun duduk berdampingan. Si kakek hanya berusaha berbasa-basi
sebentar, tapi kemudian si kakek kembali fokus dengan surat kabarnya. Si ibu yang baru duduk pun
hanya memandang kosong, berusaha agar si kakek yang duduk di sebelahnya tidak
merasa terganggu.
Aku tidak ingin berbicara dengan siapapun,
rasanya enggan berbincang-bincang atau basa-basi apalagi sampai bergosip. Nggak
mood kalau kata ponakan-ponakanku yang masih smp. Aku hanya menikmati
pemandangan di luar saja, mengintip dari kaca-kaca lebar yang terpasang sampai
sekitar sepuluh senti di bawah bahuku. Seorang laki-laki yang boleh dibilang
ganteng lah, duduk di sebelahku. Aku hanya tersenyum untuk basa-basi, kemudian
aku kembali dengan diriku sambil mendengarkan musik dari ponselku.
Dia, ya dia
tetap konsentrasi. Konsentrasi dengan dirinya dan konsentrasi pada suara
temannya yang masih terus dan memang selalu berdiri di belakang. Lalu terdengar
suara ‘ting-ting-ting’, dia pun menginjak rem perlahan-lahan dan berusaha
menepi. Dia membukakan pintu, kemudian temannya melongokkan kepalanya dan
melambaikan tangan. Dia sabar menunggu perintah temannya untuk kembali
menginjak gas.
Seorang
perempuan, yaahhh sepertinya sebaya denganku muncul dari belakang dengan nafas
tersengal-sengal setelah berlari-lari kecil agar dia tidak terlalu lama
menunggu. Tapi aku yakin, meskipun perempuan itu berjalan dan agak lambat, dia
dan temannya akan sabar menunggu dan tetap tersenyum. Dia dan temannya adalah
orang yang baik, mereka tidak akan mencampur adukkan masalah keluarga, masalah
pribadi karena mereka akan selalu tersenyum menyapa semua orang yang baru naik.
Ada banyak cerita di
dalamnya. Beberapa orang terlihat sibuk dengan text book di tangannya, bola
matanya sibuk mondar-mandir meraba cetakan tulisan kemudian mereka menengadah
dan komat-kamit. Aku sempat merasa geli, itulah cara mereka menghafal tapi
imajinasiku berkata lain. Aku membayangkan mereka sedang menghafal mantra,
seperti mbah dukun yang sedang komat-kamit saja. Aku tersenyum geli, karena aku
pun sering melakukan itu.
Dia, ya di
dan temannya pun kembali melaju. Dengan penuh senyum, berhati-hati
perlahan-lahan takut kalau ada yang tak terlihat.
Mereka
berdua lah orang yang menurutku, mereka adalah orang yang setiap hari bekerja
untuk mengantarkan para calon pemimpin bangsa. Meski hujan, meski terik, toh
mereka tetap tidak berhenti bekerja, dengan senyum mengantar jemput kami.
Mereka lah
sopir dan kernet damri.
Setiap pagi
berangkat dari dipati ukur menuju jatinangor. Terus hingga malam menjelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar